APBD: Duit Rakyat atau Duit Penguasa?
1. Pendahuluan
APBD: Cermin Demokrasi atau Cermin Kekuasaan?
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejatinya merupakan instrumen demokrasi ekonomi. Ia adalah wujud konkret bagaimana uang publik—yang bersumber dari pajak, retribusi, dan dana transfer dari pusat—dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan warga daerah. Dalam logika ideal, APBD seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki layanan publik, serta mengurangi ketimpangan sosial.
Namun, realitas sering kali berjalan terbalik. Alih-alih berorientasi pada kepentingan publik, APBD justru kerap menjadi alat legitimasi kekuasaan. Mulai dari politisi yang menyisipkan “titipan proyek” dalam pembahasan anggaran, birokrasi yang gemuk dengan belanja pegawai, hingga permainan vendor dan kontraktor yang mengincar kue pembangunan. Akibatnya, sebagian besar APBD tidak benar-benar menyentuh akar persoalan rakyat.
Satu pertanyaan mendasar muncul: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari APBD—rakyat atau penguasa?
Pertanyaan ini tidak hanya relevan dalam konteks etika, tetapi juga dalam hal efektivitas tata kelola pemerintahan daerah. Ketika alokasi anggaran didorong oleh motif kekuasaan alih-alih kebutuhan objektif, maka yang lahir bukanlah pembangunan, melainkan pemborosan dan bahkan korupsi.
Melalui narasi ini, kita akan membedah secara sistematik bagaimana proses penyusunan, pengalokasian, dan penggunaan APBD dapat mencerminkan relasi kuasa yang timpang. Dengan pendekatan populer namun berbasis data dan studi kasus, buku ini mengajak pembaca untuk melihat APBD dari sudut yang lebih kritis dan reflektif—bukan sekadar kumpulan angka, melainkan medan pertarungan kepentingan yang nyata.
2: APA ITU APBD?
Mengurai Anggaran dari Singkatan ke Substansi
APBD—Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah—sering kali terdengar di berita atau pidato pejabat, namun hanya sedikit masyarakat yang benar-benar memahami apa sebenarnya makna dan mekanisme di baliknya. APBD bukan sekadar dokumen teknokratik berisi angka-angka, melainkan kontrak sosial antara pemerintah daerah dan warganya.
Secara sederhana, APBD adalah rencana keuangan tahunan yang disusun oleh pemerintah daerah dan disetujui oleh DPRD. Ia mencakup semua sumber penerimaan (pendapatan) dan pengeluaran (belanja) daerah dalam satu tahun anggaran. APBD terbagi menjadi tiga komponen utama:
-
Pendapatan Daerah, meliputi:
-
Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.
-
Dana Transfer dari Pemerintah Pusat (seperti DAU, DAK).
-
Lain-lain pendapatan yang sah.
-
-
Belanja Daerah, digunakan untuk membiayai urusan pemerintahan: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, gaji pegawai, dan lainnya.
-
Pembiayaan, yaitu sisa anggaran, pinjaman, atau pengeluaran nonbelanja seperti pelunasan utang.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, APBD merupakan bagian dari desentralisasi fiskal—upaya untuk memberi otonomi daerah dalam mengatur dan mengurus keuangannya sendiri. Namun, desentralisasi ini tidak berarti tanpa batas. Pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan dalam bentuk transfer dana dan pengawasan.
APBD: Teori vs. Praktik
Di atas kertas, penyusunan APBD mengikuti prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Tapi dalam praktik, proses ini sering kali didominasi oleh elite politik dan birokrasi. Forum Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), yang seharusnya menjadi sarana aspirasi rakyat, justru kerap dijadikan formalitas.
Salah satu kritik tajam datang dari ekonom Faisal Basri:
“Kita terlalu sibuk menyusun APBD, sampai lupa bahwa yang disusun itu adalah amanat penderitaan rakyat, bukan daftar belanja elite.”
Dengan demikian, memahami APBD bukan hanya urusan teknis, tetapi juga kunci untuk memahami siapa yang sesungguhnya memegang kendali atas sumber daya publik.