APBD: Duit Rakyat atau Duit Penguasa?
APBD: Cermin Demokrasi atau Cermin Kekuasaan?
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejatinya merupakan instrumen demokrasi ekonomi. Ia adalah wujud konkret bagaimana uang publik—yang bersumber dari pajak, retribusi, dan dana transfer dari pusat—dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan warga daerah. Dalam logika ideal, APBD seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki layanan publik, serta mengurangi ketimpangan sosial.
Namun, realitas sering kali berjalan terbalik. Alih-alih berorientasi pada kepentingan publik, APBD justru kerap menjadi alat legitimasi kekuasaan. Mulai dari politisi yang menyisipkan “titipan proyek” dalam pembahasan anggaran, birokrasi yang gemuk dengan belanja pegawai, hingga permainan vendor dan kontraktor yang mengincar kue pembangunan. Akibatnya, sebagian besar APBD tidak benar-benar menyentuh akar persoalan rakyat.
Satu pertanyaan mendasar muncul: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari APBD—rakyat atau penguasa?
Pertanyaan ini tidak hanya relevan dalam konteks etika, tetapi juga dalam hal efektivitas tata kelola pemerintahan daerah. Ketika alokasi anggaran didorong oleh motif kekuasaan alih-alih kebutuhan objektif, maka yang lahir bukanlah pembangunan, melainkan pemborosan dan bahkan korupsi.
Melalui narasi ini, kita akan membedah secara sistematik bagaimana proses penyusunan, pengalokasian, dan penggunaan APBD dapat mencerminkan relasi kuasa yang timpang. Dengan pendekatan populer namun berbasis data dan studi kasus, buku ini mengajak pembaca untuk melihat APBD dari sudut yang lebih kritis dan reflektif—bukan sekadar kumpulan angka, melainkan medan pertarungan kepentingan yang nyata.