Gaya Komunikasi “Unfiltered” yang Disukai Sebagian Rakyat: Antara Ketulusan dan Populisme dalam Era Trump
Author: Hadi Hartono
Pendahuluan: Ketika yang Kasar Dianggap Jujur
Dalam dunia politik modern, komunikasi adalah senjata utama. Namun, di tengah arus politisi yang penuh retorika sopan, Donald J. Trump tampil sebagai anomali. Ia tidak rapi, tidak diplomatis, sering dinilai vulgar, bahkan sembrono. Namun anehnya, gaya komunikasi "unfiltered" ala Trump justru menjadi kekuatan magnetis yang menarik jutaan pemilih dari kelas pekerja, suburban, dan konservatif garis keras di Amerika Serikat. Apa yang dianggap kasar oleh media elite, justru dianggap jujur dan autentik oleh sebagian rakyat. Inilah ironi yang menyingkap jurang komunikasi antara elite dan massa, antara narasi resmi dan bahasa jalanan, antara simbolisme Washington dan suara keras dari Rust Belt.
1. Apa Itu Gaya “Unfiltered”?
Gaya komunikasi “unfiltered” merujuk pada cara berbicara atau menyampaikan pesan tanpa sensor berlebihan, tanpa dibungkus basa-basi atau kecanggihan retorika politik. Trump mempraktikkan gaya ini secara konsisten: di podium, di Twitter (sekarang X), bahkan dalam konferensi pers kenegaraan.
Kalimat-kalimatnya sering pendek, langsung, dan emosional. Ia tidak ragu menyebut lawan politik dengan julukan menghina (“Crooked Hillary”, “Sleepy Joe”), menyebarkan klaim yang belum diverifikasi, atau menyampaikan opini pribadi yang terdengar seperti obrolan warung kopi.
2. Mengapa Gaya Ini Menarik?
Sebagian besar elite politik menggunakan bahasa formal, penuh kalkulasi, dan cenderung membosankan. Di mata rakyat, ini menciptakan jarak. Ketika Trump muncul dengan gaya bicara yang “kasar tapi jujur”, sebagian rakyat merasa akhirnya ada pemimpin yang “berani mengatakan apa yang mereka pikirkan tapi tidak bisa ucapkan”.
Dengan kata lain, Trump menjadi saluran ekspresi bagi frustrasi kolektif masyarakat bawah terhadap sistem politik yang mereka anggap hipokrit, elitistis, dan tidak peduli pada keseharian rakyat biasa.
3. Jurang Elite-Massa: Retorika vs Realita
Di sinilah letak perbedaan mendasarnya. Politisi elite cenderung berbicara dalam narasi abstrak seperti “keadilan sosial”, “transparansi pemerintahan”, atau “kerja sama multilateral”. Trump bicara soal “tembok di perbatasan”, “lapangan kerja yang dicuri China”, atau “kemenangan Amerika”.
Bahasanya mungkin dangkal secara akademik, tapi konkret secara politis. Inilah yang disebut oleh sosiolog sebagai “politik afektif”—di mana emosi, bukan logika, yang menjadi penggerak utama dukungan massa.
4. Platform Sosial Media: Pangung Utama Komunikasi “Unfiltered”
Twitter menjadi senjata utama Trump selama menjabat. Ia menggunakannya untuk menggantikan pernyataan pers resmi, menyerang lawan politik, menyampaikan kebijakan, bahkan membatalkan pertemuan diplomatik.
Dalam dunia digital, pesan yang pendek, tajam, dan sensasional lebih mudah viral. Trump memanfaatkan algoritma ini dengan sempurna. Ia tidak bermain di arena debat ilmiah, tapi di medan persepsi publik. Dan persepsi itu dibentuk oleh clickbait, bukan jurnal akademik.
5. Ketika “Kesalahan” Justru Menambah Daya Tarik
Menariknya, kesalahan-kesalahan verbal Trump tidak mengurangi dukungan, bahkan kadang memperkuat citranya sebagai "anti-politik". Misalnya, saat ia menyebut COVID-19 sebagai “China virus” atau menyarankan injeksi disinfektan sebagai terapi, banyak pihak mencibir. Tapi bagi pendukung setianya, ini adalah bukti bahwa ia “tidak takut berbicara di luar skrip”.
Kesalahan itu dilihat bukan sebagai kelemahan, tapi sebagai “bukti ketulusan”—ia tidak main drama, ia memang begitu.
6. Asal Usul Sosial: Elitisasi Bahasa vs Bahasa Rakyat
Bahasa politik sering memihak yang terdidik. Kalimat rapi, statistik rumit, dan referensi kebijakan global membuat rakyat biasa merasa tersisih dari diskusi publik. Trump memotong semua itu dengan bahasa yang bisa dimengerti siapa saja. Ia membangun koneksi, bukan melalui konten ideologis, tapi dengan gaya yang membumi—meski kasar.
Ini mengingatkan pada gaya kampanye populis di negara lain, termasuk di Indonesia, di mana kesederhanaan gaya komunikasi sering lebih efektif daripada substansi yang kompleks.
7. Kritik, Satire, dan Resistensi Media
Media arus utama tentu menyoroti gaya ini sebagai bencana retorika. Banyak yang menyebut Trump sebagai ancaman bagi tata krama publik dan penegakan fakta. Namun, di mata pendukungnya, media adalah bagian dari “elite licik” yang selama ini membohongi rakyat.
Inilah yang membuat kritik terhadap Trump sering tidak efektif. Ia berhasil membalikkan kritik menjadi bahan bakar. Semakin diserang, semakin besar rasa simpati dari kelompok yang merasa tertindas oleh sistem.
8. Trump dan Seni Provokasi Terencana
Meski terkesan spontan, banyak analis meyakini bahwa gaya “unfiltered” Trump adalah strategi yang disengaja. Ia paham hukum permainan media modern: kontroversi menarik klik, klik menarik atensi, dan atensi adalah mata uang politik di era digital.
Dengan menciptakan krisis komunikasi tiap minggu, Trump mengatur narasi media nasional. Ia mendikte topik pembicaraan tanpa harus membayar iklan: cukup satu tweet untuk mendominasi 24 jam berita.
9. Refleksi Global: Populisme dan Ledakan Ketidakpercayaan
Trump bukan satu-satunya yang memakai gaya ini. Di Brasil ada Jair Bolsonaro, di Filipina ada Rodrigo Duterte, di Italia ada Matteo Salvini. Semua memakai gaya “unfiltered” untuk menyalurkan kemarahan publik terhadap elite.
Ini menandakan krisis kepercayaan terhadap sistem politik mapan. Gaya “unfiltered” menjadi simbol perlawanan terhadap politik yang terasa palsu, jauh, dan tidak relevan.
Penutup: Antara Ketulusan dan Manipulasi
Gaya komunikasi “unfiltered” tidak selalu berarti jujur, tapi ia terasa jujur. Dan dalam politik, yang terasa sering lebih penting daripada yang nyata. Trump memahami ini lebih baik daripada siapa pun di zamannya.
Ia tidak memenangkan hati publik dengan kebijakan rinci, tapi dengan gaya bicara yang mencerminkan frustrasi kolektif. Di satu sisi, ini membuka ruang demokrasi bagi suara-suara yang selama ini tak terdengar. Di sisi lain, ini juga membuka pintu manipulasi populis yang bisa membahayakan rasionalitas publik.
Di era ketika kebenaran bisa dikalahkan oleh emosi, gaya komunikasi “unfiltered” adalah pedang bermata dua. Dan seperti semua senjata dalam politik, ia bisa membebaskan, atau menghancurkan.