Sepuluh Hari Dari Central Europe ke Eastern Europe Sembilan Negara, Seribu Perspektif

Hadi Hartono
By -

 Sepuluh Hari Dari Central ke Eastern Europe,

Sembilan Negara, Seribu Perspektif

                                  Author: Hadi Hartono




HARI KE-1 – Permulaan di Paris: Di Mana Segalanya Dimulai

Perjalanan dimulai dari Paris, kota yang seolah selalu berbicara dengan bahasa puisi. Saat kakiku pertama kali menginjak tanah Prancis, rasanya seperti masuk ke dunia lain—siluet Menara Eiffel menyapa dari kejauhan, angin membawa aroma roti panggang dan kebebasan.


Dari puncak Menara Eiffel, aku memandang cakrawala Paris—atap-atap abu-abu, Sungai Seine yang mengalir tenang, dan bangunan-bangunan tua yang seperti bercerita. Aku menyusuri Montmartre, menelusuri jalan berbatu, mengagumi para pelukis jalanan, dan menyeruput kopi hangat sambil membaca catatan perjalanan Hemingway. Paris mengajarkan bahwa setiap langkah harus dihayati, bukan dikejar.




HARI KE-2 – Belgia dan Belanda: Rasa Cokelat dan Aroma Kanal

Hari kedua dimulai di Brussels, tempat cokelat dibuat dengan keseriusan yang hampir religius. Aku menikmati waffle renyah dan mampir ke Grand Place, alun-alun megah yang menjadikan waktu seolah berhenti sejenak. Kejutan terbesar datang saat berdiri di depan Atomium—bangunan ikonik yang melambangkan modernitas dan keberanian mimpi.


Menjelang malam, perjalanan berlanjut ke Amsterdam. Kota ini seperti lukisan hidup: kanal-kanal melingkar seperti labirin air, rumah-rumah sempit berdiri berdempetan tapi harmonis, dan cahaya dari jendela-jendela tua memantul di permukaan air. Aku menaiki sepeda dan melintasi jembatan kecil, singgah di toko buku, dan menyadari: Amsterdam tidak pernah benar-benar tidur.




HARI KE-3 – Jerman: Di Antara Gotik dan Gedung Kaca

Cologne menjadi pemberhentian pertama di Jerman. Katedralnya menjulang tinggi, seperti menusuk langit, dan detail arsitekturnya menakjubkan dari jarak dekat. Aku berjalan perlahan, menikmati semilir angin dan suara lonceng gereja.


Di Frankfurt, dunia berubah menjadi urban dan modern. Gedung pencakar langit berdiri berdampingan dengan bangunan tua, menggambarkan simbiosis masa lalu dan masa depan. Kemudian, di Heidelberg, suasana kembali melunak. Kastil di atas bukit memandang ke Sungai Neckar dengan tenang. Aku duduk di jembatan tua sambil menulis catatan harian, membiarkan nostalgia meresap.




HARI KE-4 – Luksemburg dan Swiss: Antara Negeri Kecil dan Alam Besar

Luksemburg adalah kejutan tak terduga. Kota kecil dengan benteng tua, lembah hijau, dan jalanan yang meliuk seperti naskah rahasia. Aku menyusuri lorong batu, merasa seperti masuk ke dalam dongeng Eropa abad pertengahan.


Siang harinya, kami menembus Pegunungan Alpen menuju Swiss. Di Lauterbrunnen, aku melihat air terjun terjun bebas dari tebing raksasa, rumah-rumah kayu seperti perhiasan di lembah hijau, dan suasana yang benar-benar menenangkan jiwa. Swiss bukan sekadar indah—ia menenangkan, nyaris spiritual.




HARI KE-5 – Italia: Gairah Kota dan Suara Gondola

Kami bergerak menuju Italia. Di Milan, kemegahan Duomo mendominasi pandangan. Jalan-jalan modis penuh butik, sementara seniman jalanan menghidupkan suasana dengan saksofon.

Sore hari, kami tiba di Venice. Gondola meluncur di kanal, arsitektur tua dan lorong-lorong sempit membuatku merasa seperti berada dalam lukisan Renaissance. Aku duduk di Piazza San Marco, mendengarkan denting lonceng dan gesekan biola.


Verona adalah kejutan terakhir hari itu. Aku berdiri di bawah balkon Juliet dan merenungkan bahwa cinta, walaupun klasik, tak pernah usang.



HARI KE-6 – Austria: Nada Klasik dan Alam yang Damai

Masuk ke Austria, Innsbruck menyambut dengan salju di puncak atap dan pegunungan di kejauhan. Kota ini seperti simfoni dalam bentuk visual. Di Salzburg, rumah kelahiran Mozart, setiap sudut terasa musikal. Aku mengunjungi taman Mirabell, mendengar musik klasik di udara, dan berjalan menyusuri Sungai Salzach.

Sore itu aku menyadari: ketenangan adalah bentuk kemewahan sejati.



HARI KE-7 – Slovenia: Danau, Doa, dan Keheningan

Negeri kecil bernama Slovenia menyimpan harta karun tersembunyi: Danau Bled. Air danau sejernih kaca, pulau kecil di tengahnya dihiasi gereja kuno. Kami mendayung ke sana, menaiki anak tangga batu, dan membunyikan lonceng permohonan di dalam kapel.


Tak banyak kata. Hanya suara burung dan gemericik air. Slovenia adalah tempat yang tak perlu diceritakan—cukup dirasakan.



HARI KE-8 – Hungaria: Gemerlap Budapest dan Air Panas yang Membungkus Lelah

Budapest adalah kota dualisme. Sisi Buda dengan bukit dan benteng, sisi Pest dengan kehidupan malam dan bangunan parlemen yang megah.

Aku menyusuri Danube, menyaksikan kota menyala saat malam datang. Gedung Parlemen memantulkan cahaya ke sungai, seolah mengatakan: “Inilah kejayaan masa lalu yang masih bernapas.”


Malam itu, aku berendam di Gellert Spa, air panas menyapu letih perjalanan. Aku menutup mata, membiarkan tubuh menyatu dengan riwayat kota ini.



HARI KE-9 – Republik Ceko: Kembali ke Prague, dengan Jiwa Baru

Hari kesembilan membawa kami kembali ke Prague. Tapi segalanya terasa berbeda. Aku bukan lagi turis, tapi pelancong yang memahami ritme kota.


Aku menyusuri Charles Bridge, kali ini dengan langkah pelan. Aku mengenali seniman yang sebelumnya kulihat. Aku makan di restoran yang terasa akrab. Prague telah berubah… atau mungkin akulah yang telah berubah.



HARI KE-10 – Penutup: Dunia Tak Perlu Luas untuk Mengubahmu

Hari terakhir. Di atas bus yang membawa kami kembali ke titik awal, aku memandangi wajah-wajah yang sempat asing tapi kini akrab. Kami telah menempuh sembilan negara, melintasi bahasa, budaya, dan sejarah yang berlapis.


Namun pelajaran terbesar bukan berasal dari tempat, tapi dari cara kita menyerap perjalanan itu. Dunia ini luas, ya. Tapi yang lebih penting: dunia ini dalam. Dan kita hanya benar-benar mengenalnya ketika kita bersedia terbuka, melangkah, dan merasa.  Selanjutnya eksplorasi di  https://shorturl.at/6IcbY

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!