Kontroversi UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN: Analisis Kritis atas Tata Kelola, Kepentingan Politik, dan Masa Depan Ekonomi Negara

Hadi Hartono
By -

Kontroversi UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN: Analisis Kritis atas Tata Kelola, Kepentingan Politik, dan Masa Depan Ekonomi Negara

Author: Hadi Hartono





1. Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menimbulkan perdebatan luas di kalangan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat umum.  Sebagai perubahan ketiga atas UU No. 19 Tahun 2003, regulasi ini membawa transformasi signifikan dalam pengelolaan BUMN di Indonesia.  Namun, sejumlah pasal kontroversial memunculkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan, pelemahan pengawasan, dan konflik kepentingan. 


Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis isi UU No. 1 Tahun 2025, mengidentifikasi implikasi hukumnya, serta mengevaluasi dampaknya terhadap tata kelola BUMN dan perekonomian nasional. 


2. Sejarah dan Evolusi Regulasi BUMN

Sejak era Orde Baru, BUMN memainkan peran sentral dalam pembangunan ekonomi Indonesia.  UU No. 19 Tahun 2003 menetapkan kerangka hukum bagi BUMN, menekankan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.  Perubahan pertama dan kedua terhadap UU ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika ekonomi dan kebutuhan reformasi tata kelola. 


UU No. 1 Tahun 2025 hadir dengan tujuan memperkuat peran BUMN dalam perekonomian nasional, namun juga membawa perubahan mendasar yang memicu kontroversi. 



3. Isi Pokok UU No. 1 Tahun 2025: Apa yang Berubah?

3.1. Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara)

UU ini membentuk Danantara sebagai badan hukum milik negara yang bertugas mengelola investasi dan operasional BUMN.  Danantara diberi kewenangan luas, termasuk pengelolaan aset dan penentuan strategi investasi.  


3.2. Perubahan Status Hukum BUMN

Pasal 4B menyatakan bahwa modal dan kekayaan BUMN adalah milik BUMN, bukan negara.  Konsekuensinya, kerugian BUMN tidak dianggap sebagai kerugian negara, dan keuntungan BUMN bukanlah keuntungan negara.  


3.3. Penerapan Business Judgment Rule (BJR)

UU ini mengadopsi prinsip BJR, yang memberikan perlindungan hukum bagi direksi BUMN atas keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik dan berdasarkan analisis yang wajar.  


3.4. Pembatasan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Pasal 71 ayat 1 mengatur bahwa pemeriksaan keuangan tahunan BUMN dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), bukan oleh BPK.  BPK hanya dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas permintaan DPR.  



4. Analisis Kritis: Sentralisasi Kekuasaan dalam Pengelolaan BUMN

Pembentukan Danantara dan pelimpahan kewenangan pengelolaan BUMN kepada Presiden melalui UU ini menimbulkan kekhawatiran akan sentralisasi kekuasaan yang berlebihan.  Dengan kontrol penuh atas aset dan investasi BUMN, Presiden memiliki otoritas yang sangat besar tanpa mekanisme check and balance yang memadai. 


Ketiadaan pengawasan langsung dari Kementerian BUMN dan pembatasan peran BPK memperkuat kekhawatiran ini.  Dalam sistem demokrasi, konsentrasi kekuasaan semacam ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan korupsi. 



5. Tumpang Tindih Fungsi: Antara Menteri BUMN dan Presiden

UU ini menimbulkan ambiguitas dalam pembagian peran antara Presiden dan Menteri BUMN.  Sementara Presiden memegang kekuasaan penuh atas pengelolaan BUMN melalui Danantara, peran Menteri BUMN menjadi tidak jelas.  Hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan dan ketidakefisienan dalam pengambilan keputusan strategis. 



6. BUMN sebagai Alat Politik: Ancaman terhadap Independensi Korporasi

Dengan kewenangan penuh Presiden atas BUMN, terdapat risiko bahwa perusahaan-perusahaan negara digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek.  Penunjukan direksi dan komisaris berdasarkan afiliasi politik, bukan kompetensi, dapat merusak profesionalisme dan kinerja BUMN. 


Kekhawatiran ini diperkuat oleh fakta bahwa beberapa pejabat Danantara memiliki hubungan dekat dengan lingkaran kekuasaan.  Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan objektivitas dalam pengelolaan BUMN. 



7. Implikasi terhadap Good Corporate Governance (GCG)

Prinsip GCG menekankan transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.  Namun, UU No. 1 Tahun 2025 justru melemahkan prinsip-prinsip ini dengan membatasi peran pengawasan eksternal dan memberikan imunitas hukum kepada direksi BUMN. 


Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, risiko penyalahgunaan wewenang dan korupsi meningkat.  Hal ini dapat merusak kepercayaan publik dan investor terhadap BUMN. 



8. Respons Publik, Akademisi, dan Pelaku Usaha

Berbagai kalangan menyuarakan kekhawatiran terhadap UU ini.  Akademisi menyoroti potensi pelanggaran prinsip demokrasi dan akuntabilitas.  Pelaku usaha khawatir akan ketidakpastian hukum dan risiko intervensi politik dalam bisnis.  Masyarakat sipil menuntut transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan aset negara. 



9. Bandingkan: Praktik Tata Kelola BUMN di Negara Lain

9.1. Singapura

Temasek Holdings, sebagai sovereign wealth fund Singapura, dikelola secara profesional dan independen dari pemerintah.  Transparansi dan akuntabilitas dijaga melalui laporan keuangan yang diaudit dan dipublikasikan secara rutin. 


9.2. Malaysia

Khazanah Nasional Berhad mengelola aset negara dengan pendekatan bisnis yang profesional.  Pengawasan dilakukan oleh dewan direksi independen dan laporan keuangan diaudit oleh auditor eksternal. 


9.3. Jerman

BUMN di Jerman, seperti Deutsche Bahn, diawasi ketat oleh parlemen dan badan pengawas independen.  Transparansi dan akuntabilitas menjadi prinsip utama dalam pengelolaan perusahaan milik negara. 



10. Potensi Pelanggaran Konstitusi dan UU Keuangan Negara

Peralihan kepemilikan aset BUMN dari negara kepada Presiden melalui Danantara dapat bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945.  Selain itu, pembatasan peran BPK dalam mengaudit keuangan BUMN berpotensi melanggar UU Keuangan Negara yang menekankan pentingnya pengawasan terhadap penggunaan dana publik. 


11. Kritik terhadap Mekanisme Check and Balance

UU ini melemahkan mekanisme check and balance dengan membatasi peran DPR dan BPK dalam pengawasan BUMN.  Konsentrasi kekuasaan pada Presiden tanpa pengawasan yang memadai meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang dan korupsi. 



12. Arah Reformasi BUMN yang Dibutuhkan

Reformasi BUMN seharusnya mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.  Pengelolaan BUMN perlu dilakukan oleh badan independen dengan pengawasan dari DPR dan BPK.  Penunjukan direksi dan komisaris harus berdasarkan kompetensi, bukan afiliasi politik. 


13. Rekomendasi Kebijakan

1. Revisi UU No. 1 Tahun 2025: Mengembalikan peran pengawasan BPK dan DPR dalam pengelolaan BUMN. 



2. Pembentukan Badan Pengelola BUMN yang Independen: Membentuk badan pengelola BUMN yang profesional dan bebas dari intervensi politik. 


3. Transparansi dan Akuntabilitas: Mewajibkan publikasi laporan keuangan BUMN yang diaudit




#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!