Senyum Bupati di Balik Kasus Pagar Laut

Hadi Hartono
By -

 Senyum Bupati Konoha di Balik Kasus Pagar Laut 

(Cuma Cerpen Jangan Dipikirin)


Author: Hadi Hartono







Sesi 1: Ombak yang Tak Biasa

Honomichi, pukul 05.42 pagi.

Langit masih menggantungkan sisa gelap. Burung camar terbang rendah, seolah mencari sesuatu yang hilang di antara ombak. Di bibir pantai, Pak Darga berdiri mematung, jala di tangannya tak terlempar. Di hadapannya, pagar besi setinggi empat meter berdiri membentang, menutup seluruh akses ke laut.

"Ndak masuk akal, Jek," gumamnya kepada pemuda di sebelahnya. "Baru kemarin kita narik ikan di sini. Sekarang lautnya dikunci."

Jek, pemuda tambatan jangkar, hanya mengangguk. Matanya tak lepas dari deretan pagar baja yang kini membelah laut dan desa seperti luka yang belum dijahit.

"Apa kata Bupati?" tanya Jek kemudian.

"Katanya proyek pelindung pantai. Tapi... siapa yang lindungi kita dari proyek ini?"


Di kantor redaksi Suara Selatan, pukul 09.15 WIB

Arumi menyesap kopi dingin sambil membaca email pembaca yang masuk. Judulnya menarik: “Laut Kami Ditutup, Tanpa Tanya”.

Ia membaca cepat, lalu bangkit dari kursi dan menghampiri redakturnya.

“Mas Rio, saya minta izin turun ke Honomichi. Ada proyek aneh. Nelayan-nelayan di sana protes. Mereka nggak bisa ke laut karena dibangun pagar besi. Tanpa sosialisasi,” ujar Arumi.

Rio mengangkat alis. “Proyek pemerintah?”

“Sepertinya. Tapi tidak tercatat di musrenbang, dan warga bilang tidak pernah ada rapat. Aku mau konfirmasi ke desa dan cek LPSE.”

Rio menghela napas, lalu mengangguk. “Hati-hati. Kalau proyek besar, pasti ada ‘pemiliknya’. Jangan sembrono.”

“Tenang, Mas. Aku bawa akal sehat,” jawab Arumi, tersenyum tipis.


Balai bambu Honomichi, siang hari

Angin laut menampar pipi Arumi saat ia turun dari ojek motor. Di balai bambu dekat pantai, beberapa nelayan berkumpul. Wajah-wajah lelah tapi tajam menatapnya. Seorang perempuan paruh baya menyambut.

“Mbak wartawan, ya? Saya Erna. Ayo duduk. Kami mau cerita.”

Arumi mengeluarkan buku catatan. “Bu Erna, Bapak-Bapak, saya ingin tahu kronologi dari awal. Apa benar proyek pagar laut itu tanpa persetujuan warga?”

“Betul, Mbak,” potong Pak Darga. “Kami tahu-tahu denger suara alat berat malam-malam. Seminggu kemudian, pagar udah berdiri. Lahannya, lautnya, semua ditutup.”

“Mereka bilang ini buat ‘perlindungan pantai’,” tambah Bu Erna. “Tapi aneh, kami malah nggak bisa melaut. Dapur kami ini, Mbak.”

Arumi mengangguk, merekam suara. “Siapa yang tanda tangan proyek ini?”

“Saya tanya lurah, katanya ‘dari atas’. Lurah sendiri bingung. Tapi katanya ada surat Perbup yang keluar diam-diam.”

“Peraturan Bupati?” gumam Arumi. “Siapa kontraktornya?”

“Nggak tahu pasti. Tapi truk-truk itu bawa logo PT Laut Murni Abadi.”


Malam hari, kos Arumi

Laptopnya menyala, browser membuka situs LPSE Kabupaten Konoha. Di sana, dengan mata yang nyaris tak berkedip, Arumi menemukan nama yang sama: PT Laut Murni Abadi, proyek senilai Rp 84,3 miliar dengan judul “Pembangunan Infrastruktur Proteksi Laut Wilayah Selatan”.

“Tidak ada berita lelang terbuka. Cepat sekali proyek ini dieksekusi,” gumamnya.

Ia terus menggali. Nama direksi, alamat kantor, daftar pemegang saham. Salah satu pemegang saham mayoritas adalah Dhewa Nagata.

Arumi mengernyit. “Nagata? Nama yang sama dengan...”

Ia membuka tab baru. Profil resmi Bupati Konoha muncul. Damar Wira Nagata.


Keesokan harinya, di kantor redaksi

“Aku yakin, Mas. Perusahaan ini terhubung langsung ke keluarga bupati,” kata Arumi di ruang redaksi. “Alamat perusahaannya fiktif. Aku sudah cek. Itu ruko kosong. Dan proyeknya tidak transparan.”

Mas Rio menghela napas berat. “Kalau kamu rilis berita ini, siap-siap digoreng. Siap difitnah. Tapi kalau kamu yakin datamu kuat... kita publish.”

“Kalau kita nggak bicara, siapa lagi?” jawab Arumi tenang.


Hari publikasi – berita tayang

Judul artikel itu terpampang besar di beranda Suara Selatan:
"Pagar Laut, Dapur yang Ditutup Diam-Diam"

Respon publik cepat. Beberapa media nasional mulai melirik. Tapi tak lama, tekanan datang. Arumi menerima pesan tak dikenal:

“Jangan ganggu proyek pembangunan, Mbak. Laut bisa marah. Begitu juga orang-orangnya.”


Di ruang kerja Bupati Konoha

Bupati Damar Wira Nagata duduk tenang, membaca berita di tablet. Ia meletakkan tablet itu perlahan, lalu menoleh pada ajudannya.

“Suruh orang kita redam isu ini. Kalau perlu, pakai pendekatan personal ke media. Jangan sampai nama keluarga kita disebut.”

Ajudan mengangguk cepat. “Dan wartawannya, Pak?”

Bupati tersenyum kecil. “Cukup buat dia sibuk. Kita tak usah kotor tangan. Laut ini milik negara, bukan milik rakyat desa.”




Sesi 2: Jejak di Balik Gelombang

1. “Laut Tak Bisa Dibungkam”

Suara pagar baja berderit diterpa angin. Di baliknya, laut terus bergelombang, seolah mengejek manusia yang mengira bisa membungkam samudra dengan logam dan palu.

Arumi kembali berdiri di Honomichi, kali ini ditemani Dimas, jurnalis investigasi senior dari Jakarta yang tertarik dengan laporannya.

“Lucu juga ya, proyek senilai delapan puluh miliar, tapi satu dus kantor pun tak ada,” gumam Dimas sambil memotret pagar.

“Lebih lucu lagi,” balas Arumi pelan, “waktu aku telusuri rekening perusahaan, isinya Rp 12 juta. Tapi menang tender raksasa.”

Dimas tertawa miris. “Tipikal. Laut disulap jadi ladang uang. Rakyat disulap jadi batu loncatan. Kita di negeri sulap.”


2. Kantor Pemda Konoha – Rapat Kilat

Di ruang rapat VIP Pemda Konoha, asap rokok mengepul, padahal plakat di meja bertuliskan: Dilarang Merokok di Area Ini.

Bupati Damar mengetukkan pena ke meja. “Saya minta solusi. Jangan datang ke meja saya cuma bawa masalah.”

Sekretaris daerah, Pak Tamin, menyeka keringat. “Berita terus naik, Pak. Warga mulai demo kecil. Bahkan LSM mulai menggonggong.”

“Asal jangan sampai LSM itu jadi harimau,” potong Damar. “Mana laporan PT Laut Murni?”

Ajudan menyerahkan map. Damar membacanya sejenak, lalu melemparkan map itu ke meja.

“Ini bukan laporan, ini novel fantasi. Di sini tertulis 60% progress, tapi nelayan bilang belum bisa melaut. Dana sudah cair Rp 38 miliar. Ke mana?”

Semua diam.

“Kalau begini terus, bukan cuma proyek yang tenggelam. Nama saya ikut karam!”


3. Warung Kopi – Arena Satir

Arumi dan Dimas duduk di warung kopi pesisir, menyatu dengan warga. Di dinding, poster bertuliskan “Pilih Pemimpin yang Tak Menutup Laut!” menggantung miring.

“Pak Darga,” tanya Dimas, “dulu waktu kampanye, apa janji bupati soal laut?”

Pak Darga tertawa pendek, “Katanya laut akan dijaga, bukan dijaga pagar. Janjinya seperti garam: mudah larut di air.”

Ibu Erna menimpali, “Waktu itu, bupati ke sini naik perahu. Sekarang, kami ke laut harus panjat pagar.”

Semua tertawa getir. Satir itu semacam hiburan terakhir warga desa yang tersisih oleh proyek.


4. Investigasi Ganda: Perusahaan Bayangan

Di malam sunyi, Arumi membuka struktur konsorsium di laptopnya. Di balik PT Laut Murni, ada dua perusahaan cangkang lain: PT Samudra Tama dan CV Tirta Bina. Keduanya berbagi alamat yang sama… sebuah kios fotokopi di pinggir Konoha.

“Gila… ini bukan perusahaan, ini parade kebohongan,” ucapnya.

Dimas mencocokkan dokumen.

“Dan lihat ini. Semua legalisir dilakukan oleh notaris yang juga tercatat sebagai bendahara tim sukses Damar waktu Pilkada.”

Arumi mendesah. “Jadi proyek ini bukan untuk lindungi laut. Tapi untuk lindungi kekuasaan dengan uang.”


5. Dialektika Dua Dunia

Malam itu, Arumi mewawancarai Pak Banu, mantan dosen hukum yang kini tinggal di desa.

“Pak, kalau proyek seperti ini terbukti direkayasa, bisa dihentikan?”

“Secara teori: bisa. Secara praktik: bergantung siapa yang Anda lawan.”

Arumi mengangguk. “Tapi moral?”

Pak Banu menatapnya lama. “Nak, moral itu seperti nelayan di badai. Sendiri, basah, dan kadang tenggelam. Tapi tetap penting. Kalau kita buang moral, kita hanya punya hukum yang bisa dibeli.”

Dimas menimpali, “Dan jika hukum bisa dibeli, maka keadilan adalah barang sewaan.”


6. Rencana Besar

Sementara itu, di ruang privat hotel mewah, Damar bertemu dengan seorang pengusaha yang mencium aroma proyek selanjutnya.

“Kita akan lanjut ke tahap dua. Proteksi pelabuhan. Nilainya lebih besar,” kata Damar santai, menyeruput anggur.

“Media?” tanya sang pengusaha.

“Saya punya orang di situ. Wartawan yang cerewet itu… biar sibuk sendiri. Kita tabur sedikit konflik di desanya. Fokus mereka akan kabur.”

Pengusaha itu tersenyum. “Sungguh strategi tingkat dewa, Pak.”

“Ini bukan strategi,” jawab Damar. “Ini cara bertahan di atas.”


7. Gelombang Balasan

Di Honomichi, warga mulai menyusun rencana: tuntutan hukum, petisi online, hingga dokumentasi drone atas proyek yang tidak sesuai spesifikasi. Dalam diam, rakyat belajar melawan.

“Bu Erna, kalau kita kalah?” tanya seorang ibu muda.

“Kita kalah kalau diam. Tapi kalau melawan, kita berdiri. Dan itu cukup untuk membuat mereka takut,” jawabnya mantap.


Arumi menulis narasi panjang malam itu:

“Pagar bukan hanya logam. Ia adalah simbol kesombongan kekuasaan. Tapi laut punya cara sendiri untuk merobohkan pagar: gelombang yang sabar dan terus datang.”

Laut tak akan diam. Begitu pula suara yang bersumber dari luka rakyat.




Sesi 3: Panggung Retak Sang Penguasa

1. Kabar dari Dalam

Suasana di ruang makan rumah jabatan Bupati Damar lebih hening dari biasanya. Istrinya, Bu Mila, membaca berita di tablet. Judulnya mencolok:

“Proyek Pagar Laut Rugikan Nelayan: Investigasi Rakyat Honomichi”

Ia menatap Damar yang sedang mengaduk kopi tanpa ekspresi.

“Kamu tahu siapa Arumi itu?” tanya Mila.

“Wartawan kampung yang sedang cari panggung,” jawab Damar datar.

“Kamu yakin bukan kamu yang sebenarnya sedang berada di panggung… dan tirainya mulai terbuka?”

Damar terdiam. Suara jam dinding terdengar begitu nyaring. Sebuah SMS masuk.

“Pak, ada bocoran dokumen APBD proyek yang tersebar di grup wartawan. Sumbernya belum jelas.”


2. Di Warung Kopi – Strategi Rakyat Biasa

Arumi dan Dimas berkumpul bersama warga desa yang mulai percaya pada kekuatan informasi.

“Jangan hanya demo, kita juga harus pintar,” ujar Pak Darga. “Kita perlu bukti, bukan hanya marah.”

Ibu Erna menambahkan, “Dan kita harus rekam semuanya. Drone anak saya bisa ambil gambar dari atas pagar.”

Arumi mengangguk. “Kita sudah temukan beberapa laporan keuangan yang ganjil. Kalau kita gabungkan dengan testimoni dan visual, kita bisa buat laporan ke Ombudsman dan KPK.”

Dimas menimpali, “Dan kita juga main di media sosial. Kalau mereka bermain di atas, kita viralkan dari bawah.”


3. Retakan dalam Lingkaran

Di kantor Dinas Perikanan, Kepala Bidang Infrastruktur Laut, Pak Haryo, tampak gelisah. Ia memegang amplop coklat berisi fotokopi dokumen tender.

Ia didatangi oleh sekretaris pribadi Bupati.

“Pak Bupati minta semua file backup dikumpulkan. Termasuk draf awal proyek.”

Pak Haryo mengernyit. “Kenapa baru sekarang?”

“Keamanan, Pak.”

“Tapi saya punya pertanyaan,” ujar Haryo lirih. “Kalau semua transparan, kenapa kita mulai takut data terbuka?”

Sang sekretaris hanya diam.

Di meja Haryo, terselip surat tanpa nama:

“Jika Anda diam, Anda bagian dari mereka. Jika Anda bicara, Anda bagian dari kami.”


4. Monolog Kekuasaan

Di ruang pribadinya, Damar berbicara kepada dirinya sendiri di depan cermin.

“Mereka kira bisa menjatuhkanku dengan unggahan Facebook? Dengan opini dan petisi?”

Ia tertawa pendek, tapi matanya tak ikut tertawa.

“Aku bukan politisi sembarangan. Aku tahu siapa yang harus dibayar, siapa yang bisa dijadikan musuh, dan siapa yang akan diam kalau diberi jabatan.”

Namun, suara lain dalam dirinya berbisik,

“Tapi kali ini… mereka bukan orang biasa. Mereka adalah rakyat yang mulai melek. Dan yang paling berbahaya adalah rakyat yang sadar.”


5. Bocoran yang Membakar

Tiba-tiba, di Twitter, sebuah akun anonim bernama @LautUntukRakyat mengunggah PDF 40 halaman berisi laporan pengeluaran proyek pagar laut, lengkap dengan cap dan paraf pejabat.

Arumi membaca cepat. Dimas membuka laptop dan mulai menulis artikel.

“Ini akan jadi ledakan,” ujar Dimas. “Kita kasih judul: Pagar Uang, Bukan Pagar Laut.”

Di sudut desa, anak-anak muda sibuk menyebar tautan. Grup WhatsApp warga penuh dengan diskusi hangat.

“Hari ini, rakyat bukan cuma punya suara. Mereka punya sinyal,” ujar Pak Darga bangga.


6. Elite Mulai Panik

Di ruang terbatas, Damar mengadakan rapat darurat.

“Kita butuh pengalihan isu. Buat acara budaya. Festival ikan. Undang artis,” katanya.

“Kalau rakyat tetap demo?” tanya ajudannya.

“Represif. Tapi elegan. Suruh Satpol PP jaga, tapi jangan terlalu kasar. Jangan sampai kamera menangkap lebih dari yang kita kontrol.”

Namun, nada suaranya tak lagi dominan. Tatapannya mulai goyah.


7. Dialog Dua Jalan

Malam itu, Arumi mendatangi Pak Haryo yang diam-diam mengirim dokumen.

“Kenapa Bapak bantu kami?”

Pak Haryo menatap langit. “Saya pernah percaya pada Damar. Tapi dia berubah. Kekuasaan itu seperti laut. Indah dari jauh, tapi bisa menenggelamkan kalau kau tak bisa berenang.”

Arumi mencatat kalimat itu.

“Jadi Bapak memilih melawan?”

“Saya memilih menyelamatkan diri… dan sedikit martabat yang tersisa.”


Panggung kekuasaan Damar mulai retak. Sorotan lampu media menyinari sisi gelap yang selama ini disembunyikan.

Tapi Damar bukan orang yang mudah tumbang.

Dan rakyat Konoha bukan lagi penonton.

Mereka mulai menulis skenario baru.




Sesi 4: Operasi Cuci Nama dan Kontra-Narasi

1. Rapat Diam-Diam di Pendopo

Lampu ruang rapat dinyalakan setengah. Damar duduk di ujung meja panjang. Seorang konsultan PR dari Jakarta, mengenakan jas abu muda, berbicara sambil membuka laptop.

“Kita punya dua jalur: lawan dengan narasi atau ubah medan pertempuran. Tapi satu yang pasti, Pak—diam bukan strategi.”

“Lanjutkan,” kata Damar, wajahnya kaku.

“Kita buat seolah ini sabotase politik. Buat video testimoni dari nelayan yang diuntungkan. Perbanyak agenda sosial. Bentuk relawan digital. Angkat tagar seperti #PagarLautBersamaRakyat.”

Ajudan mencatat cepat.

Damar angkat tangan. “Dan bagaimana dengan Arumi?”

“Biarkan. Kita framing dia sebagai wartawan partisan. Idealis tapi tidak paham pembangunan.”


2. Di Balik Layar Media Lokal

Redaksi media online KonohaPos menerima telepon dari seseorang bernama “Pak Jaya”.

“Kami kirim rilis resmi Pemkab soal keberhasilan Pagar Laut. Ada uang iklan juga, tentu.”

Pemimpin redaksi mengangguk pelan. “Baik, kami bantu naikkan besok pagi.”

Namun jurnalis muda bernama Jaka—diam-diam—membaca ulang laporan investigasi Arumi yang viral.

Ia bergumam sendiri, “Jika kita hanya jadi corong, apa bedanya kita dengan toa masjid di tangan penguasa?”

Ia salin dokumen dan kirim ke Arumi dengan satu pesan:

“Masih ada ruang kebenaran, meski kecil.”


3. Festival Ikan Nasionalisasi

Panggung besar berdiri di tepi dermaga. Spanduk raksasa bertuliskan “Festival Laut dan Harapan”. Artis ibukota datang. Wartawan TV nasional hadir. Kamera drone melayang di udara.

Damar berdiri di panggung.

“Kita jaga laut, kita jaga masa depan! Pagar Laut adalah bentuk cinta kita pada nelayan!”

Sorak-sorai pecah. Tapi sebagian warga yang hadir hanya mengangkat kamera, bukan tangan.

Di sisi lapangan, Dimas mencatat.

“Panggung besar, tapi fondasinya keropos,” bisiknya pada Arumi.

Arumi hanya tersenyum. “Biarkan mereka berpesta. Kebenaran tidak datang dengan fanfare.”


4. Dialog Satir – Percakapan Dua Pejabat

Di sebuah kafe elit kota, dua pejabat bicara pelan tapi tajam.

“Kalau proyek pagar ini jebol… kita semua bisa tenggelam, Bung.”

“Tapi kalau berhasil kita bungkus ulang, kita naik lagi ke permukaan.”

“Arumi itu seperti nyamuk. Tapi nyamuk yang bisa menularkan virus keraguan.”

“Lalu kita cari jaring, bukan untuk menangkap dia—tapi untuk menjebak narasinya.”

Mereka tertawa kecil. Tapi ada ketegangan dalam nada tawa itu—tawa yang takut akan jatuhnya dominasi.


5. Perang Tagar dan Opini

Twitter, Facebook, dan TikTok penuh narasi saling bertabrakan.

#PagarUntukRakyat
#KorupsiLaut
#ArumiBohong
#DamarUntukLaut

Tiap akun seperti tentara digital. Tapi Dimas lebih taktis.

“Kita tak perlu menanggapi semua. Kita serang pakai data dan video nelayan. Jaga moral tinggi.”

Arumi menulis opini panjang di media nasional:

“Pembangunan tak boleh melukai. Jika pagar dibangun di atas luka rakyat, itu bukan infrastruktur. Itu adalah monumen ketidakadilan.”

Opini itu viral. Dibaca puluhan ribu. Damar terpukul, tapi tetap tak bicara.


6. Rakyat Bicara, Bukan Sekadar Menonton

Warga mulai pasang spanduk di depan rumah:

“Laut bukan properti proyek.”
“Kami ingin tangkap ikan, bukan drama politik.”

Di masjid, di pasar, di angkringan, orang bicara. Mereka tak lagi takut.

“Pagar itu buat siapa? Kenapa justru kami makin susah?” kata Pak Rono, nelayan tua, saat wawancara langsung oleh jurnalis independen.

Ibu-ibu PKK kirim surat terbuka ke Bupati. Mahasiswa Konoha mulai galang tandatangan petisi.


7. Refleksi Seorang Pemimpin yang Goyah

Damar duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap potret masa kecilnya bersama sang ayah, seorang nelayan sederhana.

Ia mengangkat telepon. “Hubungi Prof. Iwan, dosen etika publik dari universitas. Aku ingin bicara. Bukan sebagai pejabat… tapi sebagai manusia.”

Ajudannya kaget. “Pak?”

“Bahkan panggung pun butuh jeda. Dan aku mulai lelah berdiri di atas retakan.”


Sesi ini bukan akhir, tapi eskalasi.

Bupati Damar mulai menyadari bahwa publik bukan kumpulan massa bisu.

Arumi dan warga terus menyusun gerakan tanpa senjata, tapi dengan amunisi bernama kebenaran.

Festival telah usai.

Dan waktu untuk akuntabilitas telah dimulai.



Sesi 5: Ombak Terakhir di Dermaga Kekuasaan

1. Ombudsman dan Kejutan Pagi Hari

Pagi itu, seisi Kantor Pemerintah Kabupaten Konoha mendadak geger.

Beberapa mobil hitam tanpa plat dinas terparkir rapi. Di pintunya tertulis: Ombudsman Republik Indonesia.

Salah satu petugas, mengenakan jas krem dan kopiah rapi, memperlihatkan surat perintah.

“Kami mendapat pengaduan dari masyarakat tentang dugaan maladministrasi dan potensi gratifikasi dalam proyek Pagar Laut.”

Seorang staf gugup. “Pak Bupati sedang ada kegiatan…”

“Bagus. Berarti kami bisa mulai tanpa pengaruh.”


2. Dialog di Dermaga

Damar akhirnya datang ke dermaga tempat pagar itu dibangun. Kali ini, tidak ada kamera, tidak ada pendukung. Hanya ia, Arumi, dan laut yang gelap karena hujan semalam.

“Aku tahu kamu ingin aku tumbang, Arumi,” ucap Damar pelan.

“Saya tidak ingin Anda tumbang, Pak. Saya ingin keadilan berdiri.”

“Dunia ini tak sesederhana itu. Proyek ini bukan hanya uang. Ini urusan jaringan, kontrak politik, dan... kelangsungan jabatan.”

“Dan berapa harga satu kapal nelayan yang tak bisa melaut karena pagar beton, Pak?”

Damar menunduk.

“Aku dulu ingin jujur. Tapi sistem ini… seperti laut yang menenggelamkan pelampung terakhir nurani.”


3. Ketika Fakta Tak Lagi Bisa Ditutupi

Ombudsman merilis hasil audit awal:

  • Proses tender tak transparan.

  • Perusahaan pemenang proyek terafiliasi dengan kerabat staf khusus.

  • Perubahan RTRW dilakukan diam-diam.

  • Tak ada kajian lingkungan memadai.

  • Puluhan nelayan kehilangan mata pencaharian.

Media nasional mulai menyorot.

KPK membuka pintu penyelidikan.


4. Satir Terakhir di Warung Kopi

Di warung kopi Pak Jo, percakapan mewarnai pagi.

“Dulu kita cuma bisa protes lewat spanduk. Sekarang kita punya drone dan data,” kata Dimas sambil menyeruput kopi.

“Canggih, ya?” Arumi tersenyum. “Tapi jangan lupa, kalau rakyat bisa melek teknologi, penguasa juga bisa makin licin.”

Pak Jo, yang tak pernah ikut demonstrasi, mengangkat cangkir dan berkata:

“Dulu laut dijaga oleh nelayan, sekarang laut dipagari oleh birokrasi. Tapi, laut itu tak bisa dikurung. Ombak selalu punya jalan.”


5. Damar dalam Sidang Etik

Damar duduk di hadapan panel etik Pemprov.

“Apakah Saudara menerima uang dalam proyek ini?” tanya Ketua Panel.

“Tidak.”

“Apakah Saudara mengetahui bahwa pemenang proyek memiliki konflik kepentingan?”

Damar diam lama. Lalu berkata:

“Kalau saya jujur, saya akan dihukum. Kalau saya bohong, saya dihukum sejarah. Jadi saya jawab: saya tahu. Tapi saya memilih diam. Dan itu kesalahan saya.”

Hening sejenak.


6. Epilog – Narasi dari Bawah

Beberapa bulan kemudian...

Pagar Laut dihentikan. Proyek dibekukan.

Warga mulai memulihkan dermaga dengan gotong royong.

Di sekolah, anak-anak belajar membuat film dokumenter: “Laut, Nelayan, dan Tembok Kekuasaan.”

Arumi berdiri di tepi dermaga, memotret matahari terbit. Dimas duduk di dekatnya sambil membuka email.

“Kamu diundang jadi pembicara TEDx Universitas,” katanya.

Arumi hanya tersenyum.

“Lucu, ya. Dari menulis soal pagar, kita malah membuka gerbang kesadaran.”


7. Monolog Laut

Laut tak pernah protes.

Ia hanya berubah.

Kadang surut, kadang pasang.

Tapi jika manusia terlalu sombong menaruh beton di jalur ombak, laut akan menagih harga—dalam bentuk gelombang, atau suara dari rakyat.


8. Penutup

Bupati Konoha mungkin telah jatuh.

Tapi laut tetap berdiri.

Dan rakyat kini tahu bahwa pagar bisa dibangun...
tapi tak bisa selamanya membungkam.



Disclaimer

Cerpen berjudul “Senyum Bupati Konoha di Balik Kasus Pagar Laut” adalah karya fiksi yang disusun sebagai bentuk satire sosial, politik, dan birokrasi. Seluruh tokoh, latar, dan peristiwa dalam cerita ini merupakan hasil rekaan penulis dan tidak memiliki kaitan langsung dengan individu, instansi, atau kejadian nyata manapun.

Apabila terdapat kesamaan nama, jabatan, atau lokasi dengan tokoh atau peristiwa yang ada di dunia nyata, hal tersebut adalah murni kebetulan dan bukan bentuk tuduhan, insinuasi, ataupun representasi dari fakta yang sebenarnya.

Tujuan dari cerita ini adalah mendorong refleksi kritis terhadap isu tata kelola pemerintahan, transparansi anggaran publik, serta relasi antara kekuasaan dan kepentingan rakyat, melalui pendekatan sastra dan imajinasi.

Fiksi adalah ruang bebas untuk bertanya — bukan ruang vonis.
Silakan dinikmati sebagai cermin, bukan palu.

Tags:

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!