Ekonomi Komando Presiden Prabowo: Mampukah Mengatasi Problematika Ekonomi Indonesia?
Author: Hadi Hartono
Pendahuluan
Ketika Presiden Prabowo Subianto resmi dilantik, publik menyambutnya dengan harapan sekaligus tanda tanya: seperti apa arah kebijakan ekonominya? Dikenal dengan gaya kepemimpinan tegas dan latar belakang militer, Prabowo memperkenalkan gagasan "ekonomi komando" yang menekankan peran negara sebagai pengendali utama dalam perencanaan dan distribusi sumber daya ekonomi. Artikel ini akan mengulas sejauh mana pendekatan tersebut mampu menjawab tantangan ekonomi Indonesia yang kompleks: ketimpangan, ketergantungan impor, pengangguran, dan rendahnya nilai tambah industri.
1. Apa Itu Ekonomi Komando?
Secara klasik, ekonomi komando merujuk pada sistem di mana negara memegang kendali penuh atas alat produksi, perencanaan, dan distribusi ekonomi. Dalam versi Prabowo, pendekatan ini tidak sepenuhnya menolak pasar, melainkan menempatkan negara sebagai aktor dominan dalam sektor-sektor strategis—seperti pangan, energi, dan pertahanan. Ini tampak dari niat mendirikan BUMN pangan baru, memperluas peran TNI dalam ketahanan pangan, serta program makan siang gratis berskala nasional.
2. Tantangan Ekonomi Indonesia Saat Ini
Indonesia menghadapi problem struktural dan akut:
Ketimpangan Sosial dan Ekonomi: Gini ratio tetap stagnan di kisaran 0,38–0,40. Konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elite memperparah polarisasi sosial.
Deindustrialisasi Dini: Sektor manufaktur menyusut lebih cepat sebelum Indonesia mencapai status negara maju.
Defisit Pangan dan Energi: Ketergantungan impor bahan pokok masih tinggi. Neraca perdagangan migas tetap defisit.
Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran: Kemiskinan ekstrem memang menurun, tapi kualitas pekerjaan informal tetap dominan.
Apakah ekonomi komando sanggup menjawab tantangan tersebut?
3. Kelebihan Pendekatan Ekonomi Komando di Konteks Indonesia
Kecepatan Eksekusi: Sistem komando memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat, cocok dalam krisis pangan, energi, atau saat menghadapi disrupsi global.
Keadilan Distribusi: Negara bisa menjamin subsidi silang antarwilayah dan antar kelas sosial, mencegah kesenjangan makin dalam.
Penguatan Kedaulatan Ekonomi: Ketika sektor strategis dikendalikan negara, potensi pengaruh asing bisa diminimalkan. Misalnya, hilirisasi nikel di bawah kontrol BUMN.
Pemberdayaan BUMN dan BUMDes: Jika dikelola efisien, bisa menjadi lokomotif pembangunan ekonomi daerah terpencil.
4. Risiko dan Batasan Ekonomi Komando
Birokrasi dan Inefisiensi: Campur tangan negara sering kali menimbulkan inefisiensi, korupsi, dan distorsi harga.
Minim Inovasi dan Kompetisi: Terlalu dominannya negara bisa mematikan inovasi dari sektor swasta dan UMKM.
Beban Fiskal Berat: Program makan siang gratis, subsidi besar-besaran, dan pembentukan lembaga baru membutuhkan dana jumbo yang bisa mengancam stabilitas APBN.
Potensi Otoritarianisme Ekonomi: Kontrol berlebihan bisa menekan kebebasan berusaha dan menciptakan “ekosistem ketergantungan”.
5. Prabowo, Populisme, dan Ketahanan Ekonomi Nasional
Gaya populis Prabowo membangkitkan harapan pada negara yang hadir secara nyata di dapur rakyat. Namun populisme tanpa perencanaan jangka panjang bisa menjerumuskan pada ekonomi spektakuler di atas kertas, tapi rapuh di akar. Tantangan bagi Prabowo adalah membuktikan bahwa pendekatan top-down bisa berdampingan dengan partisipasi rakyat bawah dan sektor swasta sehat.
6. Jalan Tengah: Ekonomi Kombinasi
Beberapa analis menyarankan bahwa Prabowo perlu mengadopsi pendekatan campuran: negara kuat di sektor strategis, tetapi tetap memberi ruang bagi inovasi, kewirausahaan, dan kompetisi sehat. Model seperti Vietnam atau Tiongkok bisa jadi inspirasi: negara kuat, tapi tidak menindas pasar.
Kesimpulan
Ekonomi komando versi Prabowo adalah eksperimen berani di tengah ketidakpastian global. Ia menawarkan stabilitas dan arah, tapi menyimpan potensi risiko jangka panjang. Kuncinya terletak pada governance—jika negara bisa menjadi pengelola yang efisien, bersih, dan adaptif, maka ekonomi komando bukan mustahil bisa mengatasi problematika ekonomi Indonesia. Namun bila hanya menjadi slogan retoris tanpa disiplin implementasi, ia bisa menjadi senjata makan tuan.