Langit Biru, Asap Janji
Cerpen: Bung HH
Langit Biru dan Selembar Poster
Di sebuah kota kecil bernama Harapan Jaya, pagi-pagi selalu datang dengan langit biru, burung-burung yang sibuk bernyanyi, dan wajah-wajah penuh kepalsuan di setiap dinding rumah: poster kampanye. Ada yang tersenyum sambil menunjuk ke langit, ada yang berjabat tangan dengan nelayan yang tak pernah mereka kunjungi, dan ada pula yang memakai baju adat padahal baru kemarin menggugat budaya lokal sebagai "kurang modern."
Warga Harapan Jaya sudah terbiasa hidup di antara dua hal: debu jalanan yang tak pernah diaspal dan janji kampanye yang tak pernah ditepati. Tapi tahun ini berbeda. Ada kandidat baru: Pak Elok Sejati, S.IP., M.Senyum.
Manusia Bernama Janji
Pak Elok bukan politisi biasa. Ia dibentuk dari serpihan kata manis, dirakit dengan retorika, dan dilumuri kosmetik pencitraan. Ia tak pernah benar-benar berkata jujur, tapi tak pernah juga bohong dengan buruk.
“Jika saya terpilih,” katanya saat debat, “takkan ada lagi warga miskin di Harapan Jaya. Saya akan bangun sekolah, rumah sakit, lapangan kerja, bahkan langit biru yang lebih biru!”
Warga bersorak. Termasuk Mbok Sarmi yang tak pernah sekolah, Pak Seno si pengangguran warisan, dan Dina si guru honorer yang digaji di bawah UMR tetapi diwajibkan loyal seperti tentara.
“Pak Elok berbeda!” kata mereka. “Ia paham derita rakyat kecil!”
Tak ada yang menyadari, bahkan Pak Elok sendiri pun tak tahu pasti di mana letak Harapan Jaya di peta. Yang penting: suara.
Kampanye dan Karung Beras
Suatu malam, truk-truk datang membagikan karung beras dengan stiker Pak Elok. Di dalamnya ada dua kilogram beras, satu sabun mandi, dan kalender bergambar keluarga bahagia yang tak pernah lapar.
Anak-anak menari karena sabun itu wangi. Orang tua meneteskan air mata karena kalendernya memuat jadwal "pencairan bantuan" yang tak pernah cair.
Pak Elok tak lupa berswafoto di depan rumah-rumah reyot, ditemani kru dokumentasi profesional. “Kita upload ke Instagram, kasih caption ‘Menyapa Warga, Menyerap Aspirasi’,” katanya sambil mengusap sepatu mahalnya dari percikan lumpur pura-pura.
Hari Pencoblosan, Hari Penebusan Dosa
Warga datang berbondong-bondong ke TPS. Ada yang pakai baju batik, ada yang pakai harapan. Ibu-ibu membawa anak-anak, bapak-bapak membawa nama Tuhan dalam bisikan.
Dina si guru honorer menyelipkan doa kecil, “Semoga kalau beliau jadi, aku bisa PNS.”
Pak Seno menatap langit, “Semoga setelah ini ada kerja.”
Mbok Sarmi menunggu, “Semoga listrik gak padam terus.”
Dan langit pun tetap biru. Murni. Tidak tahu menahu bahwa tinta di jari mereka akan berubah jadi simbol penyesalan kolektif.
Pelantikan dan Pencucian Dosa
Pak Elok menang telak. Media menyebutnya sebagai "gelombang baru politik yang bersih dan humanis." Ia bersumpah di hadapan konstitusi yang sudah lama sobek oleh amandemen, kontrak, dan kepentingan.
Hari pertama kerja, ia menggelar rapat besar bertema “Transparansi dan Revolusi Mental.”
Hari kedua, ia menunjuk iparnya menjadi kepala dinas.
Hari ketiga, proyek pelebaran jalan dilakukan di kampung istrinya, bukan karena butuh, tapi karena istri butuh dihargai.
Janji tinggal puing. Kata-kata tinggal kutipan di baliho. Rakyat kembali menunggu — bukan perubahan, tapi ganti wajah pembohong baru.
Pembangunan atau Perampokan Terorganisir
Warga mendengar kabar: akan dibangun mall terbesar di Harapan Jaya. Lokasinya? Di lahan sawah tempat petani menanam hidup.
“Ini demi kemajuan ekonomi!” seru pemerintah.
Petani bertanya, “Ekonomi siapa?”
Tak ada yang menjawab. Karena pembangunan lebih penting dari manusia. Karena investor lebih bernilai dari tetes peluh. Karena dalam bahasa penguasa, "pemberdayaan" berarti penggusuran, dan "maju" berarti pindah rumah.
Langit Mulai Abu-Abu
Lima tahun kemudian, langit tak biru lagi. Kabut knalpot dari kendaraan proyek memenuhi udara. Anak-anak batuk, tapi pembangunan terus jalan. Rumah sakit berdiri megah, tapi biaya berobat naik tiga kali lipat.
Sekolah gratis dibangun, tapi guru honorer tetap makan utang.
“Ini harga sebuah kemajuan,” kata Pak Elok dalam pidato kenegaraan.
Padahal yang maju hanya rekening pejabat dan para makelar proyek.
Rakyat Mulai Ingat
Suatu hari, warga mulai sadar. Bahwa perubahan tak datang dari spanduk atau pidato. Bahwa musuh utama bukan hanya Pak Elok, tapi sistem yang memungkinkan Elok lain lahir setiap pemilu.
Dina mengajar muridnya sejarah—versi jujur.
Pak Seno membuat koperasi warga.
Mbok Sarmi menolak bansos karena “Aku bukan pengemis.”
Pemilu Baru, Wajah Lama
Tahun berlalu. Pemilu datang lagi. Kali ini, muncul calon baru. Namanya Pak Tulus Nurani, S.Kom., M.Visi.
Poster-poster bermunculan: wajah bersih, senyum 4K, dan slogan:
“Langit Akan Lebih Biru!”
Rakyat tertawa kecil. Tak lagi penuh harap.
Karena kini mereka tahu: yang biru cuma tinta pemilu.
Yang tersisa tetap... asap janji.
Negeri Bernama Lupa
Harapan Jaya tetap berdiri. Diapit oleh tugu peresmian yang dibangun setahun sebelum roboh, dan jalan tol yang menyingkirkan pasar tradisional.
Di sana, langit memang biru. Tapi di bawahnya, janji-janji yang dulu menguap kini jatuh seperti hujan asam: merusak, menyakitkan, tapi tak bisa ditolak.
Rakyat hidup seperti biasa. Tetap bekerja. Tetap menunggu. Tetap memaafkan.
Karena negeri ini dibangun dari dua bahan utama:
Kata-kata manis dan ingatan yang pendek.
DISCLAIMER
Cerita pendek berjudul “Langit Biru, Asap Janji” adalah karya fiksi satir yang ditulis untuk menggambarkan realitas sosial-politik dengan gaya yang tajam, simbolik, dan penuh ironi. Tokoh, tempat, dan peristiwa dalam cerita ini sepenuhnya fiktif. Jika terdapat kemiripan dengan kejadian nyata atau individu tertentu, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.
Cerita ini bertujuan sebagai bentuk kritik sastra terhadap fenomena janji politik yang kerap tidak ditepati, ketimpangan ekonomi, serta apatisme sosial yang berkembang dalam masyarakat modern. Harap disikapi dengan kedewasaan, keterbukaan berpikir, dan semangat refleksi, bukan kebencian atau provokasi.
Penulis tidak bermaksud mendiskreditkan institusi, profesi, atau pihak mana pun. Karya ini adalah suara dari nurani fiksi—yang terkadang lebih jujur dari kenyataan.