Potret Kemiskinan di Indonesia: Tren, Metodologi, dan Tantangan Masa Depan

Hadi Hartono
By -

Potret Kemiskinan di Indonesia: Tren, Metodologi, dan Tantangan Masa Depan

Author: Hadi Hartono




Pendahuluan

Kemiskinan tetap menjadi salah satu isu sentral dalam pembangunan Indonesia. Meskipun pemerintah telah mencatatkan penurunan signifikan dalam angka kemiskinan selama dua dekade terakhir, ketimpangan sosial-ekonomi masih menjadi tantangan yang nyata. Artikel ini bertujuan memberikan tinjauan kritis terhadap data kemiskinan terbaru di Indonesia, menelaah metodologi pengukuran oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia, serta mengkaji relevansi masing-masing pendekatan dalam menyusun strategi pengentasan kemiskinan nasional.


Metodologi Pengukuran Kemiskinan: BPS vs Bank Dunia


Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan "basic needs approach" untuk menentukan garis kemiskinan. Dalam pendekatan ini, penduduk dikatakan miskin apabila pengeluaran bulanannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (setara 2.100 kilokalori per kapita per hari) dan kebutuhan dasar non-makanan (seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan). Per September 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan.


Sebaliknya, Bank Dunia menerapkan garis kemiskinan internasional berbasis Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP), yakni US$2,15 (garis kemiskinan ekstrem), US$3,65, dan US$6,85 per hari untuk negara menengah ke atas seperti Indonesia. Dengan standar US$6,85 PPP, sebanyak 60,3% populasi Indonesia diperkirakan masih berada dalam kategori miskin secara global. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengentasan kemiskinan domestik belum sepenuhnya tercermin dalam skala internasional.


Data Kemiskinan Indonesia Tahun 2024


Menurut BPS, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 8,57%, atau sekitar 24,06 juta orang. Ini merupakan capaian terendah dalam sejarah statistik kemiskinan Indonesia. Penurunan ini sejalan dengan pulihnya ekonomi pasca-pandemi COVID-19, membaiknya harga komoditas, serta peningkatan program bantuan sosial yang lebih tepat sasaran.


Rincian lebih lanjut menunjukkan bahwa:


Di perkotaan, angka kemiskinan turun menjadi 6,66%, dengan jumlah 11,05 juta orang.


Di perdesaan, persentase mencapai 11,34%, atau 13,01 juta orang.



Garis kemiskinan ini menyiratkan bahwa satu rumah tangga miskin di Indonesia (dengan rata-rata anggota 4,71 orang) memiliki pengeluaran di bawah Rp2.803.590 per bulan.


Analisis Struktural: Ketimpangan Wilayah dan Ketahanan Sosial


Kemiskinan di Indonesia menunjukkan ketimpangan regional yang tajam. Wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara masih mencatatkan tingkat kemiskinan dua hingga tiga kali lipat dibandingkan rata-rata nasional. Di sisi lain, wilayah perkotaan seperti Jakarta dan Bali memiliki tingkat kemiskinan relatif rendah tetapi tetap menghadapi masalah urban poverty, terutama di sektor informal.


Faktor-faktor penyebab kemiskinan yang paling dominan meliputi:


Ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan.


Keterbatasan lapangan kerja yang layak dan berkelanjutan.


Kerentanan terhadap guncangan ekonomi (pandemi, inflasi, bencana alam).


Ketidakseimbangan distribusi bantuan sosial.


Tantangan dan Agenda Reformasi


Meski capaian penurunan angka kemiskinan patut diapresiasi, tantangan struktural masih membayangi:


1. Definisi kemiskinan domestik yang konservatif membuat banyak penduduk yang sesungguhnya rentan (vulnerable non-poor) tidak tercatat dalam statistik resmi.


2. Transformasi struktural sektor informal belum cukup untuk menyerap tenaga kerja miskin secara produktif.


3. Digitalisasi program sosial seperti bantuan tunai dan kartu sembako masih menghadapi tantangan dalam akurasi data dan inklusi keuangan.



Kesimpulan

Kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren menurun dalam satu dekade terakhir, namun perbedaan metodologi antara pengukuran domestik dan internasional menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan belum sepenuhnya tuntas. Reformasi dalam kebijakan sosial, pemerataan pembangunan antarwilayah, dan peningkatan kualitas SDM menjadi kunci untuk mengurangi tidak hanya tingkat kemiskinan, tetapi juga kerentanannya.


Pemahaman yang mendalam terhadap metodologi pengukuran dan struktur sosial-ekonomi sangat penting agar intervensi kebijakan benar-benar menyasar kebutuhan masyarakat miskin. Kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan cerminan kompleksitas masalah pembangunan yang menuntut pendekatan interdisipliner dan kolaboratif.





#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!