Sertifikat Laut : Siapa SaJA yANG tERLIBAT

Hadi Hartono
By -

Sertifikat Laut Desa Konoha: 

Siapa SaJA yANG tERLIBAT

(iNI cUMA cERPEN - jANGAN DIPIKIRIN)

Author: Hadi Hartono





Ombak Tak Lagi Bebas

Di Desa Konoha, laut bukan hanya sumber nafkah—ia warisan, pelindung, bahkan sahabat karib bagi nelayan tua macam Pak Rondo. Tapi suatu pagi, burung camar tak bersuara. Bukan karena badai, melainkan karena laut telah disertifikatkan.


Pak Rondo membaca pengumuman dari Balai Desa:

“Pengukuran dan Sertifikasi Wilayah Laut Desa Konoha telah selesai. Sertifikat resmi tersedia di kantor BPN.”

Ia tertawa getir, “Emang laut sekarang bisa dikasih pagar?”


Bu Lurah Napsiah pun terdiam. Ia merasa ini seperti proyek misterius yang muncul tiba-tiba—dokumen sudah ada, nama warga sudah tercantum, dan sertifikat sudah naik cetak. Padahal tak pernah ada rapat warga, tak pernah ada suara nelayan didengar.



Dokumen dari Udara

Warga Desa Konoha seperti disiram air es di siang bolong. Di antara terik matahari dan aroma ikan asin yang menguar dari tambak, tersiar kabar mengejutkan: nama-nama warga tercantum dalam puluhan sertifikat tanah... di laut.


Pak Gino, petani rumput laut yang saban hari berdiri di genangan air asin dengan celana menggulung sampai lutut, mendadak jadi "pemilik" 12 bidang laut. Ia tidak tahu-menahu. Bahkan untuk mengakses internet pun ia masih mengandalkan anaknya.

"Saya mana pernah tanda tangan, Pak. Wong ngisi formulir aja minta tolong tetangga," ujar Pak Gino.


Berita itu menyebar cepat. Tak hanya Pak Gino, beberapa nelayan lain pun kaget namanya dicatut. Maka, digelarlah rapat luar biasa di balai desa yang sudah lama tidak digunakan kecuali untuk posyandu dan lomba karaoke tujuh belasan.


Hadir dalam ruang rapat:

Bu Lurah Napsiah, duduk dengan wajah cemas, mencoba menenangkan diri dengan kipas kertas bertuliskan "Ayo Cegah Stunting".

Sekretaris Desa, Mas Uki, matanya merah, mulutnya kering, dan tangannya sibuk memainkan bolpoin.

Pak Ceno dan Si Syarif, dua pria necis dari kota yang mengaku sebagai "penasihat investasi maritim".

Warga, sebagian besar nelayan, petani tambak, dan pedagang keliling, yang membawa keresahan serta kopi sachet masing-masing.


Bu Lurah membuka rapat, suaranya bergetar, “Saya ingin tahu, siapa yang mengajukan sertifikat ini? Kok tiba-tiba sudah terbit, dan nama-nama warga dicatut?”


Mas Uki menunduk, bolpoinnya berhenti berputar. "Bu... saya hanya disuruh stempel. Katanya untuk inventarisasi aset desa. Saya kira ini program pusat. Saya nggak tahu kalau ini untuk laut..."


Warga mendesak. "Lho, Mas! Laut kok disertifikatkan? Itu buat mancing, bukan buat mendirikan ruko!"


Pak Ceno berdiri dengan santai, memamerkan senyum yang menurut warga seperti lemparan silet.
"Tenang, Bapak/Ibu. Ini prosedur biasa untuk pengurusan kolektif. Semua legal kok. Lewat notaris. Bahkan sudah masuk sistem digital nasional."


Seorang warga berteriak dari belakang, "Digital-digital, kami mah real! Ini bukan legalisasi, ini legalisasi perampokan!"


Warga lain mengikuti, “KTP kami dipakai tanpa izin, tanda tangan kami palsu, dan sekarang kami pemilik laut? Buat apa, Bu? Mau bikin apartemen terapung?!”


Bu Lurah Napsiah makin pucat. Ia menggeleng pelan. "Saya tidak tahu ini, sumpah demi cucu saya. Saya pikir ini cuma pendataan."


Pak Gino mengangkat tangannya, lalu menunjuk ke layar proyektor yang menampilkan peta digital.
"Itu laut tempat saya menanam rumput laut. Sekarang katanya punya saya, tapi nanti dijual ke investor. Jadi bagaimana, saya harus jual laut ke diri sendiri?"


Pak Ceno mengangkat bahu, "Pak, itu sudah ranah bisnis. Bapak tinggal terima hasil."


"Hasil dari bohong-bohongan!" bentak seorang pemuda yang aktif di karang taruna.


Pertemuan itu bubar dengan nada tinggi dan suara marah. Tapi, di atas semua itu, warga merasa lebih terluka oleh satu hal: ketidaktahuan yang dimanfaatkan.


Dan malam itu, laut terasa lebih jauh dari biasanya. Bukan karena pasang, tapi karena pemiliknya sudah berubah di atas kertas.




Laut yang Dicetak di Atas Kertas

Beberapa hari kemudian, Badan Pertanahan Nasional (BPN) datang dengan setumpuk dokumen. Mereka tak datang dengan perahu, melainkan mobil dinas, lengkap dengan peta digital berwarna-warni.


"263 bidang laut telah memiliki sertifikat, baik Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan," ujar petugas dari BPN sambil membuka laptopnya.


Warga terperangah. Peta yang ditampilkan tampak seperti kotak-kotak warna pastel di atas biru laut.

“Lho, itu bagian tengah laut, Pak,” celetuk Pak Rondo. “Jangkar aja susah nempel di sana. Mau dibangun apa? Hotel kapsul bawah air?”


Senyum petugas BPN tak berubah. “Secara administrasi, semuanya sesuai prosedur. Sertifikatnya sudah valid. Kami hanya menjalankan tugas.”


Media nasional mencium bau amis dari laut yang disertifikatkan. Judul-judul mulai bermunculan:

“Laut Bersertifikat: Legalitas atau Legalisasi Perampasan?”
“Siapa Pemilik Laut di Desa Konoha?”
“Nama-Nama Tersangka Sertifikat Laut Bocor ke Publik.”


Nama-nama pun mulai disebut:

Napsiah (Bu Lurah): Mengaku korban, tapi tanda tangannya muncul di setiap surat kuasa.

Mas Uki (Sekretaris Desa): Mengaku hanya tukang stempel.

Pak Ceno: Terlihat selfie di kantor notaris dengan map merah bertuliskan “INVESTASI MARITIM”.

Syarif: Dikenal jago bikin proposal, tapi takut pegang ikan asin.


Jaksa mulai memanggil saksi. Penyidik dari kejaksaan daerah bilang, “Ada empat tersangka. Tapi kita masih gali siapa yang di belakang layar.”


Di warung kopi, warga berseloroh:

"Kalau laut udah bisa disertifikatkan, besok mungkin awan bisa dijual meteran."


Pak Gino menambahkan sambil menyeruput kopi:

"Yang hebat bukan yang punya laut, tapi yang bisa bikin kertas ngalahin gelombang."


Bu Lurah kini hanya bicara sedikit. Dulu ia rajin ikut lomba senam dan bersih desa. Sekarang, ia lebih sering menerima surat panggilan.


Laut Desa Konoha, yang dulu jadi tempat upacara Larung Sesaji dan lomba perahu, kini penuh garis-garis imajiner di atas peta digital. Di atas kertas, ia bukan lagi milik bersama. Tapi milik siapa saja... yang sempat mencetaknya lebih dulu.




Laut yang Tak Lagi Milik Siapa-siapa

Sertifikat laut akhirnya dibatalkan. Tetapi luka warga Konoha tak bisa dihapus semudah menghapus data komputer. Mereka merasa tertipu, dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi.


Pak Rondo duduk kembali di ujung dermaga. Langit mendung, tapi bukan hujan yang membuat matanya basah.

"Dulu, kita cuma takut angin timur. Sekarang, kita takut pena pejabat," gumamnya pelan.


Bu Lurah Napsiah tak lagi muncul di balai desa. Katanya, sedang dalam 'proses klarifikasi'. Mas Uki menghilang dari grup WhatsApp warga. Sementara Pak Ceno dan Syarif? Mereka sudah berpindah ke desa sebelah, dengan janji 'investasi baru'.


Di Jakarta, muncul pernyataan resmi: “Sertifikasi wilayah laut dihentikan sementara untuk evaluasi.” Bukan karena kesalahan, tapi karena... “keresahan publik.”


Pejabat tinggi bicara di televisi: “Kita akan susun aturan lebih ketat agar kejadian seperti di Konoha tidak terulang.”


Tapi warga tahu, aturan bukan masalah utamanya. Masalahnya: siapa yang cukup berani untuk melawan sistem, bahkan saat sistem itu berseragam?


Warga mulai belajar. Karang Taruna mengadakan kelas hukum. Ibu-ibu PKK membuka diskusi tentang hak agraria. Bahkan anak-anak mulai bertanya soal peta dan sertifikat.


Laut Konoha belum sepenuhnya pulih. Tapi setidaknya, sekarang semua orang sadar: laut bukan sekadar biru di peta. Ia adalah hidup, sejarah, dan harga diri.


Dan jika ada yang ingin mengklaimnya lagi, mereka takkan berhadapan dengan kertas. Tapi dengan manusia yang tak mau lagi dibohongi.



DISCLAIMER

Cerita ini adalah karya fiksi . Nama-nama tokoh, lokasi, dan kejadian dalam cerita ini  dikembangkan secara imajinatif untuk keperluan pembelajaran publik dan refleksi sosial. Segala kesamaan dengan nama, peran, atau kejadian nyata adalah kebetulan semata dan tidak dimaksudkan untuk mencemarkan nama baik pihak manapun.

Cerita ini dimaksudkan untuk:

Mengangkat isu penting tentang tata kelola wilayah laut dan hak masyarakat pesisir.

Mendorong kesadaran hukum dan partisipasi warga dalam menjaga kedaulatan ruang hidup.

Menyampaikan kritik sosial secara konstruktif dan artistik melalui pendekatan satir.

Pembaca diharapkan menyikapi cerita ini secara kritis, bijak, dan tidak menganggapnya sebagai laporan faktual atau dokumen resmi.

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!