Aktivis Kritis, Kini Pragmatis

Hadi Hartono
By -

Aktivis Kritis, Kini Pragmatis

(Cuma cERPEN - JaNgAN DIpiKiRIn)

                                   Author: Hadi Hartono





Sesi 1: Api di Lapangan

Langit Jakarta belum sepenuhnya cerah, tetapi ribuan mahasiswa sudah memadati halaman depan Gedung DPR. Di antara lautan kepala yang mengenakan almamater berbagai warna, seorang pria kurus tinggi dengan suara parau dan sorot mata membara berdiri di atas mobil komando.


"Rakyat lapar bukan karena tak ada makanan, tapi karena kekuasaan menyuap terlalu banyak mulut yang rakus!" teriaknya sambil menggenggam mikrofon.


Nama pria itu Raka Sembiring. Usianya belum genap 24 tahun, tetapi dalam waktu singkat ia telah menjadi simbol perlawanan generasi kampus terhadap ketimpangan sosial dan manipulasi kekuasaan. Ia bukan sekadar orator; ia adalah jantung dari gerakan mahasiswa 2003 yang menggugat reformasi setengah hati.


"Bukannya membela rakyat, elite malah membela rekening mereka sendiri! Apakah kita akan diam saja?" teriaknya lagi, kali ini lebih lantang.


"Mundur! Presiden mundur!" jawab ribuan mahasiswa serempak.



Raka tidak memulai hidupnya sebagai aktivis. Ia anak kedua dari seorang guru SD di Medan dan ibu rumah tangga yang tegas. Ia tumbuh dalam kesederhanaan, dibesarkan dengan cerita-cerita tentang perjuangan orang-orang kecil. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Jakarta, ia hanya ingin lulus cepat dan bekerja. Namun kenyataan berkata lain.


"Rak, ikut aksi besok. Ada skandal impor beras, dan pejabatnya kongkalikong sama pengusaha besar," ajak Tyo, sahabat sekampusnya, pada suatu malam.


"Aku belum terlalu paham soal itu. Tapi... ya sudahlah. Aku ikut, tapi cuma jadi penggembira," jawab Raka sambil tersenyum ragu.


Hari itu, ia melihat ketidakadilan bukan dari buku, tapi dari jeritan petani yang menggigil di depan istana. Dari sanalah percikan api itu menyala. Dan sejak saat itu, Raka tak pernah lagi absen dari aksi-aksi besar.



Di posko sekretariat Gerakan Mahasiswa Progresif, Raka dikelilingi oleh teman-temannya. Kertas-kertas berisi kajian, spanduk, dan strategi aksi berserakan di meja. Aroma kopi hitam dan semangat revolusi memenuhi ruangan.


"Rak, kamu tahu nggak, besok bisa chaos. Polisi katanya udah siap dengan water cannon dan gas air mata," kata Genta, seorang mahasiswa hukum yang biasanya bersikap tenang, tapi kali ini terdengar khawatir.


"Aku tahu. Tapi kalau kita mundur, apa gunanya semua ini? Kita udah janji ke rakyat. Kita harus jadi suara yang tak bisa dibungkam," jawab Raka mantap.


Di sudut ruangan, seorang perempuan dengan jilbab biru duduk sambil mengetik pernyataan sikap. Namanya Indira, aktivis cerdas dan tajam, sekaligus orang yang diam-diam menyimpan perasaan pada Raka.


"Kamu jangan jadi martir, Rak. Perjuangan ini panjang, dan butuh strategi, bukan hanya keberanian," ucapnya pelan, tanpa menoleh.


Raka menoleh dan tersenyum samar. "Aku tahu, Dir. Tapi kadang, keberanian itu perlu untuk membuka jalan strategi."



Hari-hari berikutnya penuh aksi dan represi. Dalam salah satu bentrokan, Raka sempat ditangkap dan dipukuli. Wajahnya masuk media. Banyak yang memujinya, sebagian mencibir, menyebutnya cari panggung. Namun yang pasti, ia menjadi magnet gerakan.


Ia diundang berbicara di berbagai forum, menulis opini di media nasional, dan disebut-sebut sebagai “pemuda peluru”—selalu menembus batas tanpa takut dihancurkan.


Namun dalam dinamika gerakan, tak semua sepakat dengan cara Raka. Beberapa kelompok menyebutnya terlalu populis, terlalu frontal, dan kurang kolektif.


"Raka, kamu terlalu dominan. Gerakan ini bukan milik satu orang," kritik Yusuf, ketua kelompok lain yang lebih moderat.


"Gerakan ini juga bukan seminar. Kalau kita terlalu lambat, rakyat akan mengira kita sama saja dengan elite yang kita lawan," jawab Raka tajam.



Di balik sorak sorai dan slogan-slogan, sesungguhnya ada keraguan yang tak pernah Raka tunjukkan. Saat sendirian, ia sering termenung. Ia mulai bertanya: apakah suara-suara lantangnya benar-benar didengar, atau hanya menjadi gema sementara yang akhirnya tenggelam di lorong waktu?


Pada suatu malam, di balkon sekretariat yang mulai sepi, Indira duduk di sampingnya.

"Kamu lelah, ya?"

Raka hanya mengangguk.


"Aku tahu kamu ingin perubahan. Tapi jangan sampai kamu berubah jadi simbol yang kamu sendiri tak bisa hidup di dalamnya," ucap Indira lirih.

"Apa maksudmu?"

"Kamu terlalu keras pada dunia, Rak. Tapi dunia ini keras karena orang-orang baik memilih diam... atau terlalu ideal sampai lupa bahwa kompromi kadang perlu."


Raka menatap langit. Bintang-bintang tak tampak malam itu. Hanya kelap-kelip lampu kota yang mencoba meniru cahayanya.

"Mungkin kamu benar, Dir. Tapi selama aku masih bisa bicara, aku akan tetap bicara."


Indira menatapnya, lama. Ia tahu, laki-laki di sampingnya sedang berjalan menuju dunia yang akan berubah—entah menjadi lebih kuat, atau lebih lelah.



Aksi besar di depan Istana Negara menjadi klimaks sesi ini. Polisi membubarkan paksa massa. Raka sempat dikejar, lompat ke selokan, lalu bersembunyi di rumah warga. Ia selamat, tapi banyak yang tertangkap.


Setelah itu, Raka memutuskan menghilang sementara dari dunia aktivisme. Ia merasa perlu berpikir, merenung, dan mengukur kembali jalan yang ia tapaki.


Beberapa orang menyebutnya lari. Yang lain menyebutnya merenung. Tapi hanya Raka yang tahu, ia sedang mempersiapkan babak baru dalam hidupnya. Babak yang akan mempertemukannya dengan dilema yang lebih pelik dari sekadar berteriak: menjadi bagian dari sistem yang dulu ia lawan.



Sesi 2: Di Tengah Kabut Jabatan

Delapan tahun telah berlalu sejak Raka Sembiring terakhir kali berdiri di atas mobil komando. Suara megafon telah berganti dengan suara rapat, dan lembaran spanduk kini diganti dengan dokumen kebijakan yang tebal dan penuh pasal. Tak ada lagi sorakan mahasiswa di sekelilingnya, hanya bisik-bisik pejabat dan desisan kompromi yang tersembunyi di balik senyum konferensi pers.


Raka kini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Sosial dan Ketahanan Rakyat, sebuah posisi prestisius yang diberikan atas rekomendasi lembaga donor internasional yang pernah bekerja sama dengannya dalam proyek-proyek advokasi pasca-reformasi.


Ia memasuki kantor kementerian setiap pagi dengan kemeja putih dan sepatu kulit yang bersih, menyapa resepsionis, naik lift, lalu duduk di ruangannya yang sejuk ber-AC. Di dinding, tergantung fotonya bersama menteri dan Presiden dalam kunjungan ke daerah rawan pangan.


Namun tak semua orang melihatnya dengan bangga.



"Rak, lo udah berubah total, ya?" ucap Tyo, mantan sahabat seperjuangan yang kini memilih jadi jurnalis investigatif.

"Kita semua berubah, Ty. Dunia ini nggak bisa digerakkan dari pinggir terus. Kadang kita harus masuk ke tengah pusaran," jawab Raka sambil menuang kopi di meja kantornya.


"Tapi lo masuk terlalu dalam, bro. Lo duduk di ruang yang sama dengan orang-orang yang dulu kita kritik habis-habisan. Apa lo masih bisa dengar suara nurani lo sendiri di ruang ini?"


Pertanyaan itu membuat Raka diam sejenak. Ia menatap jendela yang menghadap ke Monas, lalu menarik napas.


"Gue masih dengar, Ty. Tapi suaranya... kadang sayup-sayup."



Setiap pekan, Raka menghadiri rapat antar deputi, menghadapi rencana program bantuan sosial, pengentasan kemiskinan, dan pelatihan kewirausahaan masyarakat miskin. Ia mencoba menyisipkan pendekatan berbasis komunitas, transparansi anggaran, dan pelibatan LSM akar rumput.


Namun realitas birokrasi tak seindah wacana akademik.


"Mas Raka, ini data dampingan LSM yang Anda minta. Tapi, kami sarankan jangan dipakai terlalu banyak. Bikin ruwet dan banyak rekanan proyek yang keberatan," ujar seorang pejabat eselon dua saat rapat.


"Pak, kalau kita hanya pakai data internal tanpa validasi lapangan, kita cuma akan memoles angka. Di lapangan, warga tetap lapar."


Pejabat itu tersenyum kecut. "Kalau Anda keras terus, yang berubah bukan sistem, tapi posisi Anda."



Konflik tak hanya datang dari dalam sistem. Teman-teman lamanya di jaringan aktivis mulai menjauh. Grup WhatsApp “Jaringan Akar” yang dulu riuh dengan diskusi kini sepi jika Raka menyapa.


Indira, yang kini bekerja sebagai peneliti independen di lembaga kebijakan publik, adalah satu dari sedikit yang masih setia berbicara jujur dengannya.


"Rak, kamu masih bisa dipercaya?"

"Apa maksudmu?"

"Aku ditanya kolega dari NGO. Mereka mau kerja sama dengan kementerian tapi takut program kamu cuma jadi pemanis. Kamu tahu sendiri, reputasi kementerian sosial nggak bagus di kalangan gerakan."


"Aku tahu. Makanya aku masuk ke sini, Dir. Buat benerin dari dalam."

Indira menatapnya lekat-lekat.

"Tapi kamu sadar, kan? Sistem ini seperti rawa. Semakin kamu bergerak, semakin kamu tenggelam."


Raka tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang. Di benaknya, bayangan demonstrasi masa lalu muncul—teriakan lantang, ban terbakar, peluru gas air mata. Kini semua itu hanya potret masa lalu dalam folder digital yang ia simpan dengan nama: "Idealism Archive."



Suatu malam, saat sedang meninjau proyek pembangunan shelter sosial di daerah pinggiran Konoha—kabupaten yang luas namun penuh ironi kemiskinan—Raka berdiri di tepi sebuah kanal kotor. Bau sampah menyengat, dan cahaya lampu proyek membuat bayangan tubuhnya memanjang.


Seorang warga, ibu berusia 50-an tahun, mendekat.

"Pak, katanya kami mau dibantu, tapi kok belum ada apa-apa. Yang datang cuma orang-orang pakai seragam, tanya-tanya, lalu pergi."

Raka tertegun. Ia langsung membuka catatan digital di tabletnya, mencari kode wilayah dan timeline proyek. Namun hatinya justru terasa hampa.


"Bu... sabar ya. Saya usahakan minggu ini ada tim turun."

Warga itu hanya mengangguk lemah, lalu berjalan menjauh di antara tumpukan kardus dan anak-anak kecil yang bermain di tepi got.

Di malam itu, Raka kembali menulis di buku catatannya yang jarang ia buka:

"Pragmatisme tak seharusnya jadi pelarian. Tapi jika idealisme tak menghasilkan apa-apa, apakah kita salah jika memilih jalan tengah? Ataukah itu hanya nama lain dari menyerah dengan wajah elegan?"



Satu-satunya pelipur lara bagi Raka adalah program kecil yang ia inisiasi diam-diam: “Jembatan Akar”—pelatihan dan pemberdayaan warga miskin berbasis komunitas tanpa campur tangan proyek nasional. Ia menggerakkan dana CSR, jaringan LSM, dan relawan. Ia tak cantumkan nama kementerian. Hanya inisial: "RAKA".


Namun program itu mulai dicurigai oleh beberapa pihak sebagai proyek bayangan.

“Pak Raka, mohon maaf. Kami terima laporan ada kegiatan Anda di luar struktur kementerian. Bisa dipanggil Inspektorat, lho,” ujar seorang sekretaris dirjen.

“Kalau niat baik dianggap pelanggaran, saya akan jelaskan di hadapan siapa pun,” jawab Raka tenang, meski ia tahu tekanan sedang meningkat.



Malam-malam Raka kini tak lagi penuh gairah. Ia mulai tidur dengan setengah gelisah, setengah lelah. Di benaknya, selalu ada dua suara:

Suara pertama: “Lawan terus, jangan tunduk.”

Suara kedua: “Kau sudah terlalu jauh untuk kembali, dan terlalu lemah untuk mengguncang sistem.”

Dan dalam kabut itulah Raka menjalani hari demi hari. Ia belum menyerah. Tapi ia juga belum menang.

Yang pasti, ia bukan lagi aktivis yang sama.

Ia sedang menjadi sesuatu yang baru: seorang pragmatis dengan sisa nyala di dada.




Sesi 3: Pertarungan di Dalam Sistem

Pagi itu, Raka duduk di ruang rapat utama kementerian. Di depannya terbentang proyektor yang menampilkan grafik anggaran belanja sosial dan program bantuan tunai bersyarat yang akan diluncurkan menjelang tahun politik. Ruangan dipenuhi para pejabat eselon dan tim ahli dari berbagai lembaga. Semua mata fokus pada PowerPoint. Tapi pikiran Raka melayang.


Ia memandang presentasi itu seperti memandang jam pasir: butir-butir waktu dan janji yang terus tumpah, namun dasar botolnya tak pernah penuh.



“Mas Raka,” ujar Dirjen Program Sosial, seorang birokrat senior dengan senyum licin, “kami ingin masukan dari Anda soal alokasi anggaran ke LSM. Kami pikir, lebih efisien jika langsung ke vendor nasional. LSM seringkali bikin ribet.”


“Justru karena vendor nasional itu yang bikin program jadi monolitik dan jauh dari rakyat. Kita butuh pendekatan lokal. Kita harus libatkan komunitas,” bantah Raka.


Suasana ruang rapat mendadak hening. Seorang deputi angkat bicara, pelan tapi tegas.


“Mas Raka, saya paham semangat Anda. Tapi kita ini bukan aktivis lagi. Kita ini pemerintah. Ada sistem, ada birokrasi. Kalau semua hal Anda lawan, akhirnya Anda sendirian.”


Raka menarik napas. “Kalau sistem ini menutup semua pintu perubahan, lalu untuk apa kita duduk di sini?”



Beberapa hari kemudian, sebuah kabar mengejutkan datang: program Jembatan Akar yang ia rintis dipanggil audit oleh Inspektorat Jenderal. Tuduhan: penyaluran dana tanpa izin resmi kementerian dan pelanggaran etik pegawai non-struktural.


Raka mendatangi ruangan menteri. Sejenak ia berdiri di depan pintu yang dulu membuatnya bangga.


“Silakan masuk, Raka,” suara Menteri lembut, tapi penuh tekanan tak kasatmata.

“Pak, program itu nggak pakai uang negara. Itu swadaya relawan dan mitra non-pemerintah. Kenapa harus dipermasalahkan?”


Menteri tersenyum tipis.

“Masalahnya bukan di uang, Rak. Masalahnya di arah. Kalau semua staf buat program sendiri, kementerian ini isinya aktivis, bukan administrator.”

“Bukankah itu justru yang Bapak butuhkan? Inisiatif.”

“Bukan inisiatif. Tapi loyalitas.”


Raka terdiam. Itu kali pertama ia menyadari bahwa kalimat itu, dalam sistem ini, lebih penting daripada kejujuran atau kerja keras.



Sore harinya, ia duduk di kedai kopi pinggir Taman Suropati, tempat dulu ia dan rekan-rekannya menyusun draft petisi anti-korporatisasi bantuan sosial. Kini meja itu kosong, tinggal dia dan secangkir kopi dingin.


Tyo muncul, membawa segepok dokumen dan sorot mata prihatin.

“Rak, gue dapat info. Program lo mau di-framing sebagai pelanggaran disiplin. Mereka cari alasan buat singkirin lo.”

“Silakan. Kalau itu harga dari keteguhan, gue siap.”


Tyo menatapnya lama.

“Masalahnya, bro, lo juga nggak sebersih dulu. Ada transaksi di belakang program itu—bukan dari lo, tapi dari rekan mitra yang lo percaya. Dana dari lembaga donor itu ternyata bocor ke kontraktor lokal.”


Dunia Raka seketika runtuh.

“Apa... buktinya kuat?”

“Cukup untuk bikin lo tumbang di berita. Dan lo tahu siapa yang nyebarin.”



Malam itu, Raka duduk di ruang kerjanya sendirian. Ia membuka email lama dari seorang teman aktivis yang kini sudah wafat karena sakit. Isinya hanya satu kalimat:

“Kalau kita tak hati-hati, sistem ini akan menjadikan kita musuh dari cita-cita kita sendiri.”


Raka menatap layar. Ia tahu bahwa dunia tidak sesederhana hitam dan putih. Namun, ia juga tahu bahwa menyerah diam-diam adalah bentuk kematian pelan-pelan.


Ia bangkit. Malam itu, ia menulis surat terbuka. Dikirim ke media nasional dan disebar ke jejaring gerakan sipil:



SURAT UNTUK MEREKA YANG MASIH BERTAHAN

“Aku masuk ke sistem ini dengan keyakinan bisa mengubah dari dalam. Tapi setiap ruang diisi jebakan kompromi. Aku mencoba, jatuh, dan berdiri lagi. Namun hari ini, aku sadar bahwa perubahan bukan lahir dari jabatan, tapi dari keberanian kehilangan semuanya demi satu hal: integritas.

Aku tak sempurna. Tapi aku tak ingin terus pura-pura. Jika harus kalah, biarlah karena melawan—bukan karena tunduk.”



Surat itu meledak di media sosial. Dukungan dan cibiran datang bersamaan. Ada yang menyebutnya pahlawan terakhir. Ada pula yang menyebutnya pencitraan akhir sebelum lengser.

Esoknya, Raka dipanggil ke sidang etik. Ia menerima semuanya dengan kepala tegak.



Dua bulan kemudian, ia keluar dari kementerian. Tidak dengan skandal, tapi juga tanpa penghargaan. Hanya sebuah berita kecil di pojok koran:
“Staf Khusus Mundur, Kritik Sistem Bantuan Sosial.”


Ia kembali ke masyarakat. Bukan sebagai pejabat. Bukan sebagai aktivis yang ideal. Tapi sebagai manusia yang tetap ingin mencoba, meski kini dengan cara yang lebih sederhana.


Ia mengajar di komunitas, menulis kolom, dan perlahan membangun kembali jaringan Jembatan Akar, kali ini tanpa sokongan pemerintah atau lembaga donor.


Dan dalam diam, ia mulai menemukan kembali dirinya yang dulu.

Bukan sempurna.

Tapi jujur.



Sesi 4: Kembali ke Akar

Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Salak, udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara ayam bersahutan. Raka sedang duduk di beranda rumah panggung sederhana. Bukan vila, bukan rumah dinas. Hanya rumah kontrakan kecil hasil patungan dengan teman-temannya di komunitas.


Ia menulis dengan tangan, sesuatu yang dulu telah ia tinggalkan karena terlalu lama hidup dalam notulensi rapat digital, lampiran PDF, dan dokumen Word berstempel institusi.

“Rencana kami minggu depan adalah membuka perpustakaan desa, lalu mengadakan diskusi terbuka tentang hak atas air bersih. Tidak muluk-muluk. Tapi nyata.”


Raka tersenyum kecil. Ia telah berhenti berharap bisa mengubah sistem dari dalam. Tapi ia juga belum menyerah. Ia hanya mengganti medan tempur.



Sore itu, datang rombongan anak muda dari Jakarta, para aktivis baru yang haus belajar.

“Mbak Nana kirim kami, Mas. Katanya, Mas Raka lebih cocok jadi guru lapangan daripada pejabat,” ujar seorang mahasiswi sambil tertawa.

“Masih panggil saya ‘Mas Raka’? Di sini saya cuma relawan biasa.”


Tapi nama Raka terlalu besar untuk sekadar dilupakan. Surat terbukanya yang viral beberapa bulan lalu menjadi semacam kitab kecil bagi generasi baru yang ingin ‘berubah tanpa terbeli’.


Ia mengajak mereka melihat mata air yang dikuasai PT Tirta Swasta Mandiri. Sebuah perusahaan yang dulunya ditenderkan saat ia masih jadi Staf Khusus. Raka menatap plang perusahaan itu lama.

“Dulu, saya ikut tanda tangan rekomendasi izin lingkungan mereka. Saya pikir, dengan syarat ketat, semuanya bisa dikendalikan. Nyatanya, setelah semua tanda tangan masuk, mereka merusak lebih banyak daripada yang pernah kami bayangkan.”


Salah satu aktivis muda bertanya, polos, “Kalau begitu, kenapa dulu Mas tetap teken?”

Raka menunduk. “Karena waktu itu saya merasa, kalau saya menolak, saya akan dikeluarkan dari sistem. Dan kalau saya keluar, saya pikir saya tak bisa berbuat apa-apa.”

“Sekarang Mas keluar, dan tetap berbuat sesuatu.”


Raka tertawa kecil. “Iya. Dan saya sadar, ketakutan saya dulu berlebihan. Kita selalu punya ruang. Asal tidak takut kehilangan jabatan.”



Pada suatu malam, datang undangan dari kantor lama. Sebuah forum panel bertajuk “Aktivisme dalam Pemerintahan: Realisme atau Retorika?”. Raka diundang sebagai pembicara tamu.


Ia berdiri di depan panggung elegan, berdampingan dengan seorang wakil menteri muda dan seorang CEO NGO ternama. Penonton penuh: akademisi, wartawan, mahasiswa, para pejabat, dan mantan kolega.


Saat tiba giliran bicara, Raka hanya membuka laptop, menayangkan satu gambar: foto dirinya lima tahun lalu, saat baru diangkat jadi staf khusus. Senyum optimis. Mata menyala. Jas rapi. Pin kecil merah putih di dada.


Ia berbicara:

“Saya pernah percaya bahwa sistem bisa diubah dari dalam. Lalu saya percaya bahwa hanya dari luar kita bisa jujur. Kini, saya percaya: kita hanya bisa berubah kalau berhenti menyembah posisi. Di dalam atau di luar, kita tetap manusia.”

“Yang membuat kita pragmatis bukan sistem. Tapi rasa takut kehilangan kekuasaan, dan lupa bagaimana rasanya berjuang tanpa mikrofon.”


Tepuk tangan tak begitu meriah, tapi beberapa mata terlihat berkaca-kaca. Termasuk menteri muda yang dulu pernah memperingatkannya soal loyalitas.



Setahun kemudian, program Jembatan Akar telah berjalan di tujuh kabupaten. Tanpa dukungan politik, tanpa bendera partai, tapi dengan jaringan rakyat yang saling menguatkan. Mereka memperjuangkan hak atas air, tanah, dan pendidikan informal. Perlahan, mereka menciptakan “negara kecil” yang hidup di sela-sela negara besar yang sibuk kampanye.


Pada sebuah reuni kecil, Raka duduk bersama Tyo, Nana, dan beberapa aktivis tua yang kini lebih banyak berladang daripada berdemo.

“Rak, lo nyesel?” tanya Tyo sambil menyeruput kopi.

“Nyesel pernah berharap terlalu banyak dari sistem. Tapi nggak nyesel pernah mencoba,” jawabnya pelan.


Nana menimpali, “Lo tetap idealis. Tapi kini lo tahu: bukan sistem yang harus kita ubah duluan, tapi cara berpikir tentang kekuasaan.”



Cerita Raka adalah cerita tentang mereka yang naik ke panggung kekuasaan dengan hati yang penuh idealisme, lalu terpukul oleh realitas, dan akhirnya kembali ke rakyat dengan luka—tapi juga dengan kesadaran baru.


Ia bukan pahlawan. Ia bukan pecundang.

Ia hanyalah manusia yang memilih untuk tetap jujur, meski tak lagi dielu-elukan, dan mungkin tak akan pernah tercatat dalam buku sejarah.


Namun bagi mereka yang datang ke perpustakaan desa setiap minggu, atau anak-anak muda yang belajar mengorganisir warga di kampung-kampung, nama Raka cukup berarti.


Sebagai simbol. Sebagai kesaksian. Bahwa masih ada jalan lain.

Bukan jalan cepat. Bukan jalan empuk.

Tapi jalan sunyi yang tak menjual nurani demi posisi.


Selesai.


Disclaimer Cerpen "Aktivis Kritis, Kini Pragmatis"

Cerpen ini adalah karya fiksi yang bertujuan untuk menggambarkan perubahan dalam pandangan seorang aktivis yang dulunya kritis terhadap sistem dan kini memilih jalan pragmatis. Semua tokoh, peristiwa, dan tempat yang digambarkan dalam cerpen ini adalah fiksi semata dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan individu, organisasi, atau kejadian nyata.

Segala kemiripan dengan kejadian atau tokoh yang nyata adalah kebetulan belaka. Cerpen ini hanya mengangkat tema sosial dan politik secara umum dengan pendekatan yang dialektik, satir, dan penuh kritik terhadap dinamika sosial yang ada. Pembaca diharapkan untuk tidak menafsirkan cerita ini sebagai representasi dari individu atau kelompok tertentu.

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!